Hari – Hari Besar Agama Buddha
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh :
1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad :
1113032100068
Ucup manrdani:
11130321000-
1. W a i s a k P u j a.
Hari Raya
Waisak pada umumnya jatuh pada bulan purnama sidhi dibulan Mei-Juni. Hari Raya Waisak juga dijuluki hari Tri Suci Waisak, karena pada hari itu
umat Buddha Sedunia mempringati Tiga Pristiwa Agung yang terjadi pada diri
kehidupan Sang Buddha Gotama lebih dari 2500 tahun yang lalu.
1.1
Pengertian Prosesi
Dalam
Hari Raya Waisak ada suatu kegiatan yang dinamakan prosesi, yang dimaksud prosesi disini adalah
suatu ritual yang berlangsung sebelum detik-detik waisak berakhir.Namun arti
prosesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Susunan, Runtutan jalannya
Upacara/pawai khimad sedangkan dalam Kamus Istilah Prosesi adalah Pawai /
arak-arakan yang dilakukan secara Khimad ( dalam suatu upacara / ritual )
seperti perayaan Waisak di Candi Borobudur yang diawali dengan prosesi
menjelang upacara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan perita suci serta permohonan
Tisarana dan Sila pada anggota Sangha, yang dilanjutkan dengan meditasi yang
tepat pada detik – detik waisak.
Selanjutnya dilakukan iring – iringan Prosesi dari Candi Mendut menuju Candi
Borobudur bagian paling depan adalah Api Waisak yang diikuti barisan pembawa
bendera kebangsaan dan panji Buddhis, disusul barisan Bhinneka Tunggal Ika yang
mengenakan pakaian adat, kemudian barisan pembawa air berkah Waisak, barisan
pembawa persembahan dan Stupa.
Menyusul
barisan anggota Sangha, barisan pandita serta Upasaka / Upasika,lalu ditutup
barisan umat Buddha yang masing – masing membawa kembang sedap malam.Namun
apabila Hari Raya Waisak atau Hari Raya yang lainnya dilaksanakan di Vihara
maka ada prosesi yang dinamakan Pradaksina yaitu prosesi memutari Dhammasala
sebanyak tiga kali dengan mengucapakan Tisarana, dimana pada putaran pertama
mengucapkan Buddham Saranam Gacchami,
putaran kedua mengucapakan Dhammam
Saranam Gacchami, dan pada putaran ke tiga mengucapkan Sangham Saranam Gacchami sampai memasuki Dhammasala.
1.2 Detik – Detik Waisak
Detik – detik
Waisak sangat bermakna dan mengandung daya religius dan spiritual yang sangat dalam. Detik suatu pristiwa
sangat berarti, mendatangkan kesan mendalam, kaya makna, saat – saat peristiwa
itu selalu dihadirkan kembali dan dicari ketepatannya atau kepersisannya
seperti manakala peristiwa itu sesungguhnya terjadi.Detik – detik Waisak yang
begitu dinanti oleh Umat buddha yang merayakan ini seakan menjadi titik puncak
dari perayaan Waisak yang selalu diawali dan diakhiri dengan meditasi. Adanya
momentum detik – detik Waisak ini diprakarsai oleh kaum theosofiyang merayakan
Waisak itulah yang kini tetap terwariskan dan sudah menjadi tradisi setiap
perayaan Waisak.Menurut kepercayaan kaum Theosofi bahwa Detik Waisak memakai
perhitungan astronomi yang konon katanya merupakan saat – saat yang terjadi di Lembah Waisak (
Waisak Valley ) di Himalaya, dimana Sang Buddha turun menampakkan diri dan
memberi berkahNyapada dunia dan semesta agar damai dan sejahtera.
Para ahli
Astronomi menggunakan dua ukuran waktu, yang disebut Ephemeris – Time dan
Universal Time. Ephemeris – Time adalah waktu seragam yang didasarkan pada
perputaran planet, sedangkan Universal – Time didasarkan atas perputaran
bumi.Perbedaan ET dan UT untuk waktu 100 tahun ( 1900-2000 ) kira – kira hanya
1 ( satu menit ) saja, sedangkan
untuk tahun kurun 2000-3000 berbeda 74 menit. Untuk tahun 1982, nilai perbedaan
adalah : + 53 detik yang dapat dipergunakan, dan setiap tahun ditambah 1 ( satu
) detik, sesuai tabel berikut ini.
TABEL
KOREKSI E.T KE
U.T
Tahun
|
Menit
|
Tahun
|
Menit
|
Tahun
|
Menit
|
Tahun
|
Menit
|
1990
|
1.01
|
2000
|
1.11
|
2010
|
1.21
|
2020
|
1.31
|
1991
|
1.02
|
2001
|
1.12
|
2011
|
1.22
|
2021
|
1.32
|
1992
|
1.03
|
2002
|
1.13
|
2012
|
1.23
|
2022
|
1.33
|
1993
|
1.04
|
2003
|
1.14
|
2013
|
1.24
|
2023
|
1.34
|
1994
|
1.05
|
2004
|
1.15
|
2014
|
1.25
|
2024
|
1.35
|
1995
|
1.06
|
2005
|
1.16
|
2015
|
1.26
|
2025
|
1.36
|
1996
|
1.07
|
2006
|
1.17
|
2016
|
1.27
|
2026
|
1.37
|
1997
|
1.08
|
2007
|
1.18
|
2017
|
1.28
|
2027
|
1.38
|
1998
|
1.09
|
2008
|
1.19
|
2018
|
1.29
|
2028
|
1.39
|
1999
|
1.10
|
2009
|
1.20
|
2019
|
1.30
|
2029
|
1.40
|
CARA MERUBAH E.T KE U.T
Purnama sidhi tanggal 1Juni 1996, pada pukul 20. 47. 56 ET
Koreksi
1996 1. 07
_
20. 46.
49 UT
Penyesuaian WIB
7.00. 00
+
27. 46. 49
Tanggal 2 Juni
1996 03. 46. 49 WIB
Untuk daerah lain menyesuaikan dengan waktu setempat.
1.3 Makna
Waisak
Untuk dapat
melaksanakan ritual Buddhis khususnya dalam upacara pringatan waisak yang
sesuai dengan Buddha Dhamma, terlebih dahulu kita harus tau makna Waisak itu
sendiri. Apakah makna Hari Raya Trisuci Waisak ?untuk menjawabnya dijelaskan
bahwa Hari Raya Trisuci Waisak disebut juga sebagai Tahun Baru Buddhis.Karena
mempringati Tiga Peristiwa Agung yang dialami oleg Guru Agung kita Sang Buddha
Gotama. Jadi jelas bahwa makna Waisak adalah untuk mengingat peristiwa penting
yang jatuh pada bulan Mei – awal Juni ( Bulan Waisaka )pada tahun yang berbeda.
adapun ketiga peristiwa tersebut adalah
- Pangeran Siddharta lahir di Taman Lumbini pada tahun 623 Sebelum Masehi
- Petapa Gotama mencapai bodhi atau Penerangan Sempurna di Bodh Gaya pada usia 35 tahun.
- Buddha Gotama mencapai Parinibbana ( mangkat ) di Kusinara pada usia 80 tahun.
Peristiwa Suci
Waisak mengajak umat Buddha untuk merenungkan dan menghayati kembali perjuangan
hidup Buddha Gotama. Hari Raya Waisak merupakan hari dimana mengajak umat buddha
untuk menelaah kehidupannya masing- masing, untuk senantiasa berpedoman pada
Buddha Dhamma.
2. Hari Besar Lainnya
Selain hari
Raya Trisuci Waisak masih ada lagi hari – hari besar lain yang diperingati oleh
umat Buddha yaitu :
2.1 Hari Suci Asadha
Hari Asadha merupakan
peristiwa yang mempunyai arti yang amat penting sebab dengan adanya peristiwa
Asadha itulah sampai saat ini umat Buddha masih dapat mengenal ajaran Buddha
Dhamma yang Indah pada awalnya, Indah pada pertengahannya dan Indah pada akhirnya.Hari
Besar Asadha diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari RayaTriuci Waisak.yang
biasanya jatuh pada bulan Juli guna mempringati tiga peristiwa penting yaitu :
- Kotbah pertama Sang Buddha kepada lima orang pertapa ditaman Rusa Isipatana.
- Terbentuknya Sangha Bhikkhu yang pertama.
- Lengkapnya Tiratana ( Buddha, Dhamma, dan Sangha.)
2.2 Hari Suci Magha
Hari Raya Magha biasanya jatuh
pada bulan purnama sidhi dibulan Februari /
maret atau 2 (dua ) minggu setelah tahun baru imlek. Hari Suci Magha ini
mempringati empat peristiwa penting, yaitu :
- Berkumpulnya 1250 orang Bhikkhu tanpa di undang terlebih dahulu.
- Mereka semua telah mencapai tingkat kesucian Arahat.
- Mereka semua memiliki enam Abinna.
- Mereka semua ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan ucapan Ehi Bhikkhu.
2.3 Ovadhapatimokha
Ovadhapatimokha terdiri dari
dua kata yaitu Ovadha yang artinya nasehat atau pesan, sedangkan Patimokha
artinya disiplin. Ovadhapatimokha merupakan sabda Sang Buddha yang merupakan
inti dari ajaran Sang Buddha dan Etika pokok para Bhikkhu yang terdiri dari 227
sila yang harus dipatuhi oleh bhikkhu dalam kehidupannya.
2.4 Hari Suci Khatina
Hari Suci Khatina merupakan hari
bakti umat Buddha kepada anggota Sangha. Dengan memberikan dana kepada anggota
Sangha atau yang disebut sanghadana / pawarana dan harus ada minimal lima orang Bhikkhu yang bervassa di vihara
tersebut. Jadi sanghadana yang diselenggarakan pada
bulan kattika tidak dapat dilangsungkan tanpa kehadiran Bhikkhu. Bulan kattika
adalah bulan setelah masa vassa habis dan bisa disebut perayaan masa khatina.
Khatina diawali dengan tradisi pembuatan jubah, karena makna dari kata khatina
itu adalah bingkai kayu / alat untuk menjahit jubah. Khatina puja biasanya
dilaksanakan selama sebulan mulai dari sehari sesudah para Bhikkhu/bhikkhuni selesai menjalankan masa vassa.Dana yang diberikan dapat berupa jubah dan keperluan Bhikkhu sehari – hari, handuk, sabun,
odol, sikat gigi, makanan serta perlengkapan vihara.Namun ada juga 4 ( empat ) kebutuhan pokok para Bhikkhu
yaitu :
- Civara (jubah )
- Pindapata ( makanan )
- Senasana ( tempat tinggal )
- Gilanapaccayabhesajja ( obat- obatan )
2.5 Pengertian katannu Katavedi
Katannu
Katavedi berasal dari bahasa pali yang artinya ” Bersyukur, berterima kasih” (Ven.
Ajahn Sumedho ),dalam istilah buddhis memiliki arti menyadari akan pertolongan
yang diberikan dan merasa berterima kasih/ syukur sedangkan dalam buku Senarai
istilah katannu artinya tahu kebajikan
orang lain dan katavedi artinya tahu membalas budi orang lain.
Pengertian dan Fungsi Vihara
Vihara, klenteng dan Orde Baru
Vihara Duta Prabha di Kota Banjarmasin. Vihara adalah rumah ibadah agama
Buddha, bisa juga dinamakan kuil. Kelenteng adalah rumah ibadah penganut
taoisme, maupun konfuciusisme. Tetapi di Indonesia, karena orang yg ke
vihara/kuil/kelenteng, umumnya adalah etnis tionghoa, maka menjadi agak sulit
untuk di bedakan, karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme,
Taoisme, dan Konfuciusisme. Salah satu contohnya adalah Vihara Kalyana Mitta
yang terletak di daerah pekojan - jakarta barat. Banyak umat awam yang tidak
mengerti perbedaan dari klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya
berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya beraritektur
tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat
selain daripada fungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya
mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur
tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang
berasal dari Tiongkok. Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi
rancu karena peristiwa G30S pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah
pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuklah itu kepercayaan tradisional Tionghoa
oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup
secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi istilah dari bahasa
Sanskerta ataupun bahasa Pali, mengubah nama sebagai vihara dan mencatatkan
surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari
sinilah kemudian umat awam sulit membedakan klenteng dengan vihara.
1. Candi
Borobudur
Ciri-Ciri nya :
Candi Borobudur
berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur
sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai
puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur adalah
nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40
km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut
agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra.
2.
Candi Mendut
Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Candi Mendut adalah
sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut,
kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari
candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
3. Candi
Ngawen
Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah
candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah
Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut
perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman
Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah
yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.
4. Candi
Lumbung
Candi Lumbung adalah
candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu
di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9
pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi
utama (bertema bangunan candi Buddha)
Ciri-cirinya :
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
5. Candi
Banyunibo
Candi Banyunibo yang
berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada
tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota
Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9
pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat
sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi
ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan
bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai
bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada
tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.
6. Kompleks
Percandian Batujaya
Kompleks Percandian
Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang
terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang,
Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari
sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik.
Cirri-cirinya:
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
7. Candi
Muara Takus
Candi Muara Takus
adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini
tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar
atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak
antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer
dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.
Ciri-cirinya:
Kompleks candi ini
dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula tembok
tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke
pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi
Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi
terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan,
batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak
di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai
saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa
batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan.
Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan
candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
8. Candi
Sumberawan
Candi Sumberawan
hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang. Dengan
jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan
Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.
Candi Sumberawan
terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, +/- 6 Km, di
sebelah Barat Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan
ukuran P. 6,25m L. 6,25m T. 5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki
bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena
terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang
memberi nama Candi Rawan.
Cirri-cirinya:
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.
9. Candi
Brahu
Candi Brahu dibangun
dengan gaya dan kultur Buddha, didirikan abad 15 Masehi. Pendapat lain, candi
ini berusia jauh lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan. Menurut
buku Bagus Arwana, kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini
didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti
Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari candi brahu. Dalam prasasti yang
ditulis Mpu Sendok pada tahun 861 Saka atau 9 September 939,
Cirri-cirinya:
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
10. Candi
Sewu
Candi Sewu adalah
candi Buddha yang berada di dalam kompleks candi Prambanan (hanya beberapa
ratus meter dari candi utama Roro Jonggrang). Candi Sewu (seribu) ini
diperkirakan dibangun
pada saat kerajaan Mataram Kuno oleh raja Rakai Panangkaran (746 – 784). Candi
Sewu merupakan komplek candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, sementara
candi Roro Jonggrang merupakan candi bercorak Hindu.
Menurut legenda
rakyat setempat, seluruh candi ini berjumlah 999 dan dibuat oleh seorang tokoh
sakti bernama, Bandung Bondowoso hanya dalam waktu satu malam saja, sebagai
prasyarat untuk bisa memperistri dewi Roro Jonggrang. Namun keinginannya itu
gagal karena pada saat fajar menyingsing, jumlahnya masih kurang satu.
Referensi :
- Endro Herman.s, ” Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026 ”. 1997, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta. Pusat.
- Sumedho Ajahn, Ven, ”Bersyukur Pada Orang Tua ”. 2006, Yayasan Kusalayani, Jakarta.
- Jo Priastana, ” Happy Vaisakh ” . 2006, Yasodara Puteri, jakarta.
- Dewi Metta. W. SH. S.Ag, ” Bakti Kepada Orang Tua ”.
- Majalah Sinar Dhamma Edisi Waisak 2552 BE, 2006 hal, 44
- https://nanpunya.wordpress.com/2009/04/01/10-candi-buddha-di-indonesia/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar