SEJARAH HINDU BUDHA DIINDONESIA
RESUME
Disusun
Oleh:
Kelompok Lima (5)
Ismail
Sholeh :
1113032100040
Wahid
Muhammad : 1113032100068
Sukmaya
: 1113032100043
Yudi
Attahrim :
1113032100061
Usup Mardani
: 11130321000
A. SEJARAH KEDATANGAN
HINDU-BUDDHA KE INDONESIA
Masuknya kebudayaan
Hindu-Budha ke Indonesia melalui proses yang panjang. Berbagai pendapat para
ahli meskipun masih berupa dugaan sementara, cukup berguna untuk memberikan
pemahaman tentang bagaimana proses masuk dan berkembangnya kebudayaan
Hindu-Budha di Indonesia.
Teori tentang masuknya
kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua
pandangan. Pendapat pertama menekankan pada peran aktif dari orang-orang India
dalam menyebarkan Hindu-Budha (teori Waisya, teori Ksatria, dan teori Brahmana.
Pendapat kedua mengemukakan peran aktif orang-orang Indonesia dalam menyebarkan
agama Hindu-Budha di Indonesia (teori Arus Balik)
1. Waisya
Teori Waisya
dikemukakan oleh NJ. Krom yang menyatakan bahwa golongan Waisya (pedagang)
merupakan golongan terbesar yang berperan dalam menyebarkan agama dan kebudyaan
Hindu-Budha. Para pedagang yang sudah terlebih dahulu mengenal Hindu-Budha
datang ke Indonesia selain untuk berdagang mereka juga memperkenalkan
Hindu-Budha kepada masyarakat Indonesia. Karena pelayaran dan perdagangan waktu
itu bergantung pada angin musim, maka dalam waktu tertentu mereka menetap di
Indonesia jika angin musim tidak memungkinkan untuk kembali. Selama para
pedagang India tersebut tinggal menetap, memungkinkan terjadinya perkawinan
dengan perempuan-perempuan pribumi. Dari sinilah pengaruh kebudayaan India
menyebar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
2. Teori Ksatria
Teori Ksatria
berpendapat bahwa penyebaran kebudayaan Hindu-Budha yang dilakukan oleh
golongan ksatria. Pendukung teori Ksatria, yaitu:
C.C. Berg menjelaskan
bahwa golongan ksatria turut menyebarkan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
Para ksatria India ini ada yang terlibat konflik dalam masalah perebutan
kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para ksatria ini sedikit
banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku di Indonesia yang
bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang
dinikahkan dengan salah satu putri dari kepala suku atau kelompok yang
dibantunya. Dari perkawinannya itu, para ksatria dengan mudah menyebarkan
tradisi Hindu-Budha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Selanjutnya
berkembanglah tradisi Hindu-Budha dalam kerajaan di Indonesia.
Mookerji mengatakan
bahwa golongan ksatria dari Indialah yang membawa pengaruh kebudayaan
Hindu-Budha ke Indonesia. Para Ksatria ini selanjutnya membangun koloni-koloni
yang berkembang menjadi sebuah kerajaan.
J.L. Moens menjelaskan
bahwa proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia pada awal abad ke-5
ada kaitannya dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama. Sekitar
abad ke-5, ada di antara para keluarga kerajaan di India Selatan melarikan diri
ke Indonesia sewaktu kerajaannya mengalami kehancuran. Mereka itu nantinya
mendirikan kerajaan di Indonesia.
3. Brahmana
Teori
ini dikemukakan oleh Jc.Van Leur yang menyatakan bahwa agama dan kebudayaan
Hindu-Budha yang datang ke Indonesia dibawa oleh golongan Brahmana (golongan
agama) yang sengaja diundang oleh penguasa Indonesia. Pendapatnya didasarkan
pada pengamatan terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha
di Indonesia, terutama pada prasasti-prasasti yang menggunakan Bahasa
Sansekerta dan Huruf Pallawa. Di India bahasa itu hanya digunakan dalam kitab
suci dan upacara keagamaan dan hanya golongan Brahmana yang mengerti dan
menguasai penggunaan bahasa tersebut.
Teori ini mempertegas
bahwa hanya kasta Brahmana yang memahami ajaran Hindu secara utuh dan benar.
Para Brahmanalah yang mempunyai hak dan mampu membaca kitab Weda (kitab suci
agama Hindu) sehingga penyebaran agama Hindu ke Indonesia hanya dapat dilakukan
oleh golongan Brahmana.
4. Teori Arus Balik
Teori ini dikemukakan
oleh F.D.K Bosch yang menjelaskan peran aktif orang-orang Indonesia dalam
penyebaran kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Menurut Bosch, yang pertama
kali datang ke Indonesia adalah orang-orang India yang memiliki semangat untuk
menyebarkan Hindu-Budha. Karena pengaruhnya itu, ada di antara tokoh masyarakat
yang tertarik untuk mengikuti ajarannya. Pada perkembangan selanjutnya, banyak
orang Indonesia sendiri yang pergi ke India untuk berziarah dan belajar agama
Hindu-Budha di India. Sekembalinya di Indonesia, merekalah yang mengajarkannya
pada masyarakat Indonesia yang lain.
B. PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDDHA DI INDONESIA
Tersebamya pengaruh
Hindu dan Buddha di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu terlihat dengan jelas
pada kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia.
1) Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi
Hindu-Buddha
Munculnya pengaruh
Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat melalui
beberapa hal seperti:
i. Seni Bangunan
Seni bangunan yang
menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia pada bangunan
Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha yang ditemukan di Sumatera, Jawa dan
Bali pada dasarnya merupakan perwujudan akulturasi budaya lokal dengan bangsa
India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman prasejarah tradisi
megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat pengaruh
Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur.
ii. Seni Rupa/Seni Lukis
Unsur seni rupa atau
seni lukis India telah masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan telah
ditemukannya area Buddha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung
Buddha berlanggam Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni
rupa India pada Candi Borobudur ada pada relief-relief cerita Sang Buddha
Gautama. Relief pada Candi Borobudur pada umumnya lebih menunjukkan suasana
alam Indonesia, terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung
merpati. Di samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan
tersebut merupakan lukisan asli Indonesia, karena lukisan seperti itu tidak
pernah ditemukan pada candi-candi yang ada di India. Juga relief Candi
Prambanan yang memuat ceritera Ramayana.
iii. Seni Sastra
Seni sastra India turut
memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sanskerta sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Prasasti-prasasti awal
menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti yang ditemukan di
Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis
dalam bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa
iv. Kalender
Diadopsinya sistem
kalender atau penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi,
yaitu dengan penggunaan tahun Saka. Di samping itu, juga ditemukan Candra
Sangkala atau kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun atau
kalender Saka. Candra Sangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat atau
gambaran kata. Bila berupa gambar harus dapat diartikan ke dalam bentuk
kalimat.
v. Kepercayaan dan Filsafat
Sebelum masuknya
pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal dan
memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaannya
itu bersifat animisme dan dinamisme. Kemudian, masuknya pengaruh Hindu-Buddha,
ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi. Masuk dan berkembangnya
pengaruh terutama terlihat dari segi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan
pemujaan dewa-dewa alam.
vi. Pemerintahan
Sebelum masuknya
pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah
seorang kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya,
karena memiliki kelebihan dari anggota kelompok suku lainnya. Akan tetapi,
setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha, tata pemerintahan disesuaikan dengan
sistem kepala pemerintahan yang berkembang di India. Seorang kepala
pemerintahan bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang memerintah
wilayah kerajaannya secara turun-temurun (Bukan lagi ditentukan oleh kemampuan,
melainkan oleh keturunan).
C. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN HINDU-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA
Persamaan dan perbedaan
Agama Hindu-Buddha di India, Jawa dan Bali Dilihat dari sisi luar, perbedaan
antara Hindu Indonesia dengan Hindu India sangat kentara. Baik dari makanan
yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain
yang bisa dilihat dengan kasat mata. Sebagai contoh, orang-orang india dimana Veda
diwahyukan, mereka mayoritas vegetarian, sementara orang Hindu Indonesia
(Bali,Jawa) mayoritas non vegetarian. Umat hindu Bali dan Jawa sembahyang tiga
kali yang disebut dengan Tri Sandhya, sedangkan umat hindu dari India biasanya
sembahyang dua kali pagi dan sore.
Salah satu contoh
kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia maupun di
India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca Sradda yaitu:
Percaya dengan adanya
Tuhan,
Percaya dengan adanya
Atman,
Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
Percaya dengan adanya
Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
Percaya dengan adanya
Moksa.
Di Bali ada lagi
lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah mencapai tingkatan
spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama, lontar buana kosa, lontar
sangkul putih, dan lain-lain.
Ø Perbedaan Agama Hindu-Buddha di India, Jawa dan Bali
Perbedaan mulai tampak
pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut dengan Upacara atau Ritual
dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing wilayah mewarnai setiap
upacara yang ada. Histori di setiap daerah pun berbeda, peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi dalam perjalanan juga tidak sama, sehingga melahirkan
perayaan Hari Raya yang berbeda guna memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam
sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi, yang nantinya bisa selalu
diingat dan dijadikan suri teladan dalam mengarungi kehidupan di maya pada ini.
Jangankan Hindu India
dan Indonesia, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada banyak perbedaan, untuk
memahami perbedaan-perbedaan ini mari kita tengok sejarah perkembangan Hindu di
Bali seperti yang dituturkan oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagavan Dwija dalam
karyanya: “Hindu dalam Wacana Bali Sentris”
D. Hindu Dharma dan Buddha
Dharma
Hindu Dharma
Pada tahun 1958 Agama
Hindu Bali mendapat tempat di kementrian agama R.I. sesudah Agama Hindu Bali
mendapat tempat di kementrian agama dibentuklah Dewan Agama Hindu Bali, yang
sesudah kongres disebut Parisada Dharma Hindu Bali (1959), dan yang pada tahun
1964 diganti dengan Parisada Hindu Bali, hingga sekarang.
Buddha Dharma
Buddha dharma adalah
suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan pandangan terang
yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan dan kegelapan batin dan
penderitaan disebabkan ketidak puasan. Buddha dharma meliputi unsur-unsur
agama, kebaktian, filosofi, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata
susila, etika dan sebagainya.
Dharma mengandung 4
makna Utama:
1. Doktrin
2. Hak, Keadilan, Kebenaran
3. Kondisi
4. Barang yang kelihatan atau fenomena.
AJARAN HINDU DHARMA DAN
BUDHA DARMA TENTANG KETUHANAN
Disusun
Oleh:
Kelompok Lima (5)
Ismail Sholeh : 1113032100040
Wahid Muhammad : 1113032100068
Sukmaya : 1113032100043
Yudi Attahrim : 1113032100061
Usup Mardani : 11130321000
A. Ajaran dan konsep KeTuhanan
Tuhan Yang Maha Esa Menurut Hindu Dharma
Menurut Hindu Dharma,
Tuhan hanya satu. Umat Hindu di Indonesia memberi Dia gelar Sang Hyang Widhi Wasa
‘Widhi’ berarti takdir dan ‘Wasa’ artinya Yang Maha Kuasa. ‘Widhi Wasa’ berarti
Yang Maha Kuasa, yang mentakdirkan segala yang ada.
Dia juga disebut
Bhatara Ciwa Pelindung Yang Tertinggi. Banyak gelar lagi yang dipersembahkan
oleh umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Sang Hyang Parameswara raja
Termulia, Parama Wicesa, Maha Kuasa, jagat Karana pencita Alam dan
lain-lainnya.
Sebagai pencipta Ia
bergelar Brahma (Utpatti), dalam aksara Ia disimbolkan dengan huruf ‘A’.
Sebagai pemelihara dan pelindung (Sthiti) ia disebut Wisnu dalam aksara
disimbolkan huruf ‘U’. Sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi alam kepada
suber asalnya (Pralina) Ia bergelar Ciwa; sering juga disebut sebagai Icwara,
sibolnya dalam aksara adalah huruf ‘M’.
Sebagaimana yang telah
disebutkan dalam pustaka suci Weda: “EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN” , artinya:
“hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya Adwityam Hyang Widhi itu itu “EKO
NARAYANAD NA DWITYO’STI KACIT” artinya: “hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada
duanya”.
Gelar Tuhan disebut
dengan berbagai nama disebabkan sifat-sifat Sang Hyang Widhi Yang Maha Mulia,
Maha Kuasa, Maha Pengasih dan tiada terbatas. Sedangkan kekuatan manusia untuk
menggambarkan Sang Hyang Widhi sangat terbatas. Rsi-rsi agama Hindu hanya mampu
memberi sebutan dengan berbagai nama serta berbagai fungsinya. Yang paling
utama ialah TRI SAKTI, yakni:
A. BRAHMA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pencipta,
dalam bahasa sansekerta disebut “UTPATTI”.
B. WISNU adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung,
pemelihara dengan segala kasih-sayangnya. Pelindung dalam bahasa sansekerta
disebut “STHITI”.
C. SIWA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya melebur (pralina)
dunia serta isinya dan mengembalikan dalam penyadaran ke asal.
TRI SAKTI ini mencipta,
memelihara dan melebur semesta alam. Mereka menguasai ketiga hukum: lahir,
hidup, dan mati serta seluruh makhluk, termasuk manusia. untuk dapat meresapkan
kemahakuasaan Hyang Widhi ini, agama Hindu memberikan simbol pada kekuatannya
dalam ucapan aksara suci “OM”[1]
Perkataan “OM” adalah aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan
ketiga prabawanya, yaitu:
Aksara ‘A’ untuk menyimbolkan BRAHMA , Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pencipta.
Aksara ‘U’ untuk menyimbolkan WISNU, Hyang Widhi prabhawanya Maha
Melindungi.
Aksara ‘M’ untuk menyimbolkan SIWA, Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pelebur.
Suara ‘A’, ‘U’ dan ‘M’ ditunggalkan menjadi AUM atau OM.
Dalam Agama Hindu, Sang
Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa atau Bhatara. Dewa adalah perwujudan sinar
suci dari Sang Hyang Widhi yang memberi kekuatan suci guna kesempurnaan hidup
makhluk. Dewa itu bukan Sang Hyang Widhi Wasa, Ia hanyalah sinarnya.
Kata ‘Dewa’ berasal
dari bahasa sansekerta ‘DIV’, artinya Sinar (kata ini menjadi Day dan Divine
dalam bahasa inggris). Tegasnya, Dewa berarti bersinar, sedangkan kata
Bhatara adalah prabhawa (manifestasi) kekuatan dari Sang Hyang Widhi untuk
memberi perlindungan terhadap ciptaannya.
Kata ‘Bhatara’ berasal
dari bahasa sansekerta ‘BHATR’ yang berarti pelindung, antara Dewa dan Bhatara
sering pemakaiannya diartikan sama saja. Umpamanya Dewa Wisnu disebut juga
Bhatara Wisnu karena beliau melindungi makhluk semesta.
Tripramana
Agama Hindu mengajarkan teori “TRIPRAMANA” yakni: tiga cara untuk
mengetahui benar-benar adanya Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan cara:
A. PRATYAKSA PRAMANA ialah dengan cara melihat langsung, mengenal Tuhan Yang
Maha Esa hanya orang-orang sangat suci yang mungkin mengetahui Sang Hyang Widhi
dengan cara melihat langsung, yaitu dengan cara Pratyaksa pramana.
B. ANUMANA PRAMANA ialah dengan cara analisa yang mudah-mudah saja. Umat
Hindu percaya bahwa terdapatnya seluruh alam semesta tentu ada yang
menciptakan, yanki Sang Hyang Widhi. Apabila manusia mati tentu ada tempatnya
bagi atman yang lepas dari badan. Inipun tentu adalah Sang Hyang Widhi.
C. AGAMA PRAMANA ialah denga cara mempercayai isi pustaka suci Agama Hindu.
Umpamanya kitab suci Upanisad menyatakan bahwa Sang Hyang Widhi adalah “telinga
dari semua telinga; pikiran dari semua pikiran; ucapan dari segala ucapan;
nafas dari segala nafas; mata dari segala mata”, dan lain sebagainya.
Adanya Sang Hyang Widhi
Maka dari itu, Sang
Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa merupakan maha Sempurna dan tidak terbatas,
karena itu manusia tidak dapat melihatnya. Walaupun manusia tidak dapat
melihat Sang Hyang Widhi bukanlah Sang Hyang Widhi tidak ada. Sebagai
halnya bintang-bintang di langit, tidak kelihatan pada siang hari tidak berarti
bahwa bintang-bintang itu tidak ada atau ada hanya pada waktu malam saja.
Justru karena mata manusia tidak mampu menembus sinar matahari, maka dari
itulah sebabnya tidak dapat melihat bintang-bintang di langit. Akan tetapi
bintang-bintang itu tetap ada. Demikian pula lantaran manusia tidak dapat
menembus kegelapan jiwanya. Maka tidak dapat pula melihat Sang Hyang Widhi,
akan tetapi Sang Hyang Widhi pada hakikatnya tetap ada. Umat beragama yang
benar-benar melaksanakan kehidupan suci sesuai dengan petunjuk dan ajaran
pustaka suci, niscaya akan melihat Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dengan
terang. Tuhan Yang Maha Esa akan tampil dalam hati-sanubari para umat beragama
dan jiwa yang suci lagi murni.
Tidak Berbentuk
Dalam pustaka suci
Weda, disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi tidak berbentuk, tidak bertangan maupun
berkaki, tidak berpancaindra, tetapi beliau dapat mengetahui segala sesuatu
yang ada pada makhluk. Lagi pada Hyang Widhi tidak pernah lahir dan tidak
pernah tua, tidak pernah berkurang juga bertambah. Tegasnya Sang Hyang Widhi
tidak berbentuk tetapi karena kemuliaannya dapat mengambil wujud sesuai dengan
keadaan untuk menegakan Dharma. Perwujudan ini dinamakan AWATARA.
Awatara
Istilah Awatara
adalah perwujudan Sang Hyang Widhi ke dunia dengan mengambil suatu bentuk
yang dengan perbuatan atau ajaran-ajaran sucinya, beri tuntutan untuk
membebaskan manusia dari penderitaan dan angkara murka disebabkan kegelapan
awidya.
Pustaka suci Bhagavadgita, Bab IV sloka 7
berbunyi:
“Manakala Dharma (kebenaran) mulai hilang
Dan Adharma (kejahatan) mulai merajalela,
Saat itu, wahai keturunan Brata (arjuna),
Aku sendiri turun menjelma.
Ternyata apabila dunia
dalam penderitaan dan dikuasai Adharma, maka Sang Hyang Widhi turun ke dunia
untuk menegakan Dharma. Dalam hal ini, Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa
dalam maifestasinya sebagai Wisnu, telah menjelma ke dunia ini sebagai Awatara
sebanyak Sembilan kali untuk menjelmakan dan menegakan Dharma. Dalam kitab suci
Purana, ada disebutkan DHASA AWATARA (Sepuluh Awatara)[2] sebagai berikut:
- MATYSA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi berbentuk ikan besar, telah menyelamatkan manusia dari banjir yang maha besar.
- KURMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai kura-kura raksasa telah menupu dunia ini agar terhindar dari bahaya terbenam.
- WARAHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai seekor badak agung yang telah menyelamatkan dunia dan mengait dunia dari bahaya terbenam.
- NARASIMBA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi dalam bentuk manusia berkepala samba (singa) telah menyelamatkan dunia dengan mebasmi kekejaman Raja Hirnyakasipu yang terkenal dengan lalim dan selalu menindas Dharma.
- WAMANA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai orang kerdil yang berpengengetahuan tinggi dan mulia, telah menyelamatkan dunia dengan mengalahkan Maharaja Bali yang selalu menginjak-injak Dharma dan kedaulatan negara.
- PARASHURAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia bentuk Ramaparashu, yakni Rama yang bersenjata kapak telah menyelamatkan dunia dengan membasmi segenap kesatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma.
- RAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagi Sri Rama, putra raja Dasharatha, telah menyelamatkan duina dengan membasmi Sang Rawana, raja kelaliman dan keangkaramurkaan di negeri Alengka.
- KRESNA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Sri Kresna , raja Dwarawati yang terkenal, telah membasmi raja Kangsa dan jarasada tokoh kelaliman.
- BUDDHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Buddha Gautama, putra raja Sudhodana yang lahir di kapilavastu, telah menyebarkan Dharma dan memberikan tuntunan kepada manusia untuk mencapai Nirwana.
KALKI AWATARA: penjelmaan terakhir Sang Hyang
Widhi akan membasmi segala penghianat dan penyeleweng agama. KALKI akan turun
ke dunia pada zaman Kali Yuda, yakni zaman memuncaknya pertentangan. Menurut
keyakinan umat Hindu, Awatara Kalki itu sekarang amsih belum lahir, namun pasti
akan lahir untuk melenyapkan pertentangan-pertentangan keyakinan itu.
Rsi—Acarya/Sulinggih
Disamping Awatara,
dalam agama Hindu terdapat pula istilah ‘Rsi’ dan ‘Acarya’. Rsi adalah orang
suci yang atas usahanya melakukan tapa yoga, semadi, memiliki kesucian dan
dapat menghubungkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi dan sudah mencapai moksa,
sehingga dapat melihat hal-hal yang lampau (atita), yang sekarang (wartamana)
dan yang akan datang (anagata).
Para rsi berkewajiban
memelihara, menuntun umat manusia dengan ajaran-ajaran Weda. Awatara berbeda
dengan Rsi, sebab yang satu turun dari atas sedangka yang lainnya dari bawah
naik ke atas. Acarya berbeda pula dengan Rsi, sebab Rsi sudah melepaskan dir
dari ikatan keduniawian, sedangkan Acarya masih belum dapat melepaskan diri
dari ikatan keduniawian, ia harus melakukan upacara keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari.
1. Ajaran Tentang Seembahyang
Berkenaan dengan ajaran
mengenai ritual Hindu yang di ajarkan dalam naskah Kusumadewa sesungguhnya
tidak terlepas dengan beberapa mantra dan doa suci yang dilafaskan oleh pemanku
disatu tempat yang suci sesuai dengan rangkaian dan enis upacara yang
dijelaskan didalamnya.
Beberapa hal utama sebagai periapan rituan Hindu yang diajarkan dalam
naskah Kusumadewa yakni pentingnya membersihkan sarana atau alat yang digunakan
untuk melakukan persembahyangan. Adapun alat tersebut antara lain.
- Membersihkan Cablong
- Menata tikar
- Memetik daun
- Memasang caniga
- Membersihkan juntandeg
- Mengisi juntanddeg air uci
- Meenempatan dupa pada bangunan suci
- Mengahturkan dupa
- Dll.
Sebagai akhir dari
semua rangkayan ritual dalam upacara piodalan adalah membagikan air suci atau
thirta yang diawali dengan memercikan pada bagian kepala sebanyak tiga kali ,
air suci ddi minum tiga kali, serta air suci digunakan untuk membersihkan muka
sebagai kesucian dan anugrah Ida sang Hyang Widhi Wasa juga dibasuhkn tiga kali
padda bagian muka. Terakhir adalah nunas sekar disertai ucapan ‘Ong
Kasumaduhadi jaya nama swaha’ yang maknanya anugrah dari sang Hyang widhi wasa.
Waktu berdetik-detik,
bermenit-menit berhari-hari, bertahun-tahun, terus berputas di kita semua. Para
Rsi kita menyadari bahwa pase-fase waktu tersebut mempengaruhi
kekuatan-kekuatan dan energi yang berbeda. Kekuatan-kekuatan itu digambarkan
sebagai dewa dan dewi. Mengucapkan doa atau arti pada jam-jam tersebut secara
teratur sangat penting karena kekuataan dewa dan dewi pada saat itu sangat
senssitif pada jam-jam tersebut. Demikian pula pada jam-jam untuk kita
beraktifitas kehidupan keagaamaan dan spiritual.
- Memahami filosofi sembahyang
Perseembahyangan daalam agama Hindu yang dianut di Bali merupakan cara-cara
melakukan hubungan Atma dengan parama-atma, antara manusia dengan Sang Hyang
Widhi serta semua manifestassinya.
- Arti dan makna seembahyang
Kata “seembahyang” berasal dri bahasa Jawa Kuno. Sembah dalam bahasa jawa
kuno berarti “menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan
diri. Sedangkan kata Hyang artinya “suci”. Jadi kata seembahyang berarti
menyembah yang suci untuk mnyerahkan diri pada yang hakekatnya lebih tinggi.
Dalam bahasa yang biasa yang mereka gunakan adalah “yajna/ yadnya”.
Istilah yajna berasal dari akar kata sangsekerta “yaj” berarti menyembah,
berdoa, berkorban, beramal dan bekerja sunguh-sungguh. Pada dasarnya yajna
bertujuan uuntuk membalas hutang budi kepada Tuhan yang Maha Esa.
Panca yajna ialah lima hal yang dipersembahkan atau pengabdian
- Brahman yajna: berbakti pada Tuhan YME
- Devaa yajna: berbakti pada Dewata
- Pitri yajna: berbakti pada nenek moyang
- Nri yajna: sedekah pada yang miskin
- Bhuta yajna: memberikan makanan pada binatang
- Yang boleh di sembah
- Ida sang Hyang Widhi wasa
- Para dewa-dewa
- Para Rsi
- Leluhur
- Manusia
- Bhuta
- Arti dan fungsi sarana sembahyang
Melakukan perseembahyangan umumnya umat Hindu Bali menggunakan berbagai
sarana untuk memantapkan hatinya dalam melakukan perseembahyangan. Sarana itu
ada berupa bunga, buah, daun, api, dan juga thirta.
B. Konsep Ketuhanan Buddha Dharma
Tak dapat dikatakan
bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka
terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup
bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam
nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa
keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh
nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karen itu ada
ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama.
Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari
kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat[3].
Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa
sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana,
pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang
suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang
pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran
tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala
pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan
tadi.
Ajaran agama-agama
tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun
tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu
dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri,
rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan
ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau
oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya
nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha
tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat
antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan
antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak
mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan
adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu
mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga
meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
1) Adi Buddha
Dalam agama buddha
terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang
merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha
tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”. Sebutan adi buddha berasal dari
tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang
menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
Adi buddha merupakan
buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang
pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan
dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun
tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah
satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari
setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan
sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha
terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha
vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan
paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab
namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari
zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha
menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI
no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana
peraturan pemerintah RI no. 21 tahun
1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan
sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah”
diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”
2) Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering
menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara.
Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang
sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang
yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para
dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya
tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah
para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat
tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah
ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang
berdoa [6]. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha
maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha
bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga
kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia
lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai
dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari
kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai
melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja
bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang
buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan
tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada
lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan
bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi
tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika
seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud
yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak
dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di
depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para
umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak
berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca
tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk
bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap
rendah hati.
Setelah memasuki
ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah
disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada
dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha.
Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan
untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal
dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang
buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan,
ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang
paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di
vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran
penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang
berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan
sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan
pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih
sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut
bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian
baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan
mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang
akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang
tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan
dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan
selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna
sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran
sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang.
Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha mempunyai
keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan
sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha agar
keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai
keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan
kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah
berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut
agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
KONSEP KETUHANAN BUDDHA DHARMA
RESUME
Disusun
Oleh:
Kelompok Lima (5)
Ismail Sholeh : 1113032100040
Wahid Muhammad : 1113032100068
Sukmaya : 1113032100043
Yudi Attahrim : 1113032100061
Usup Mardani : 11130321000
A. Konsep Ketuhanan
Tak dapat dikatakan
bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka
terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup
bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam
nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa
keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh
nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karen itu ada
ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama.
Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari
kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat[4][1][1]. Akan tetapi pendapat
yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa sebutan tuhan atau tokoh
yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam,
bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada
dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang pemberi hukum, tata
tertib, baik yang alamiah maupun yang moril. Tiada gambaran tentang yang
disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala pernyataan
yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran agama-agama
tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun
tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu
dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri,
rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan
ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau
oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya
nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha
tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat
antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan
antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak
mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan
adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu
mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga
meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
B. Adi Buddha
Dalam agama buddha
terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang
merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha
tanpa awal dan akhir adalah adi buddha” [4]. Sebutan adi buddha berasal dari
tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang
menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
Adi buddha merupakan
buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang
pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan
dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun
tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah
satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari
setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan
sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha
terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha
vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan
paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab
namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari
zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha
menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI
no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana
peraturan pemerintah RI no. 21 tahun
1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan
sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah”
diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”
C. Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering
menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara.
Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang
sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang
yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para
dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya
tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun
menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga,
namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena
istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika
seseorang sedang berdoa [6]. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada
arca sang buddha maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan
bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah
meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan
kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat
buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti
ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih
diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja
bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang
buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan
tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada
lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan
bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi
tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika
seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud
yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak
dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di
depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para
umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak
berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca
tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk
bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap
rendah hati.
Setelah memasuki
ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah
disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada
dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha.
Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan
untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal
dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang
buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan,
ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang
paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di
vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran
penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang
berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan
sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan
pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih
sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut
bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian
baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan
mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang
akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang
tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan
dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan
selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna
sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan
ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak
sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha
mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya
dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha
agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan
yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan
terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat
kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar
memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
KONSEP KETUHANAN DAN
AJARAN DALAM AGAMA HINDU
Disusun
Oleh:
Kelompok Lima (5)
Ismail Sholeh : 1113032100040
Wahid Muhammad : 1113032100068
Sukmaya : 1113032100043
Yudi Attahrim : 1113032100061
Usup Mardani : 11130321000
1) konsep KeTuhanan
Tuhan Yang Maha Esa Menurut Hindu Dharma
Menurut Hindu Dharma,
Tuhan hanya satu. Umat Hindu di Indonesia memberi Dia gelar Sang Hyang Widhi
Wasa ‘Widhi’ berarti takdir dan ‘Wasa’ artinya Yang Maha Kuasa. ‘Widhi Wasa’
berarti Yang Maha Kuasa, yang mentakdirkan segala yang ada.
Dia juga disebut
Bhatara Ciwa Pelindung Yang Tertinggi. Banyak gelar lagi yang dipersembahkan
oleh umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Sang Hyang Parameswara raja
Termulia, Parama Wicesa, Maha Kuasa, jagat Karana pencita Alam dan
lain-lainnya.
Sebagai pencipta Ia
bergelar Brahma (Utpatti), dalam aksara Ia disimbolkan dengan huruf ‘A’.
Sebagai pemelihara dan pelindung (Sthiti) ia disebut Wisnu dalam aksara
disimbolkan huruf ‘U’. Sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi alam kepada
suber asalnya (Pralina) Ia bergelar Ciwa; sering juga disebut sebagai Icwara,
sibolnya dalam aksara adalah huruf ‘M’.
Sebagaimana yang telah
disebutkan dalam pustaka suci Weda: “EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN” , artinya:
“hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya Adwityam Hyang Widhi itu itu “EKO
NARAYANAD NA DWITYO’STI KACIT” artinya: “hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada
duathnya”.
2) Tri Sakti
Gelar Tuhan disebut
dengan berbagai nama disebabkan sifat-sifat Sang Hyang Widhi Yang Maha Mulia,
Maha Kuasa, Maha Pengasih dan tiada terbatas. Sedangkan kekuatan manusia untuk
menggambarkan Sang Hyang Widhi sangat terbatas. Rsi-rsi agama Hindu hanya mampu
memberi sebutan dengan berbagai nama serta berbagai fungsinya. Yang paling
utama ialah TRI SAKTI, yakni:
A. BRAHMA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pencipta,
dalam bahasa sansekerta disebut “UTPATTI”.
B. WISNU adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung,
pemelihara dengan segala kasih-sayangnya. Pelindung dalam bahasa sansekerta
disebut “STHITI”.
C. SIWA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya melebur (pralina)
dunia serta isinya dan mengembalikan dalam penyadaran ke asal.
TRI SAKTI ini mencipta,
memelihara dan melebur semesta alam. Mereka menguasai ketiga hukum: lahir,
hidup, dan mati serta seluruh makhluk, termasuk manusia. untuk dapat meresapkan
kemahakuasaan Hyang Widhi ini, agama Hindu memberikan simbol pada kekuatannya
dalam ucapan aksara suci “OM”.[5]Perkataan
“OM” adalah aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan ketiga
prabawanya, yaitu:
Aksara ‘A’ untuk menyimbolkan BRAHMA , Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pencipta.
Aksara ‘U’ untuk menyimbolkan
WISNU, Hyang Widhi prabhawanya Maha Melindungi.
Aksara ‘M’ untuk menyimbolkan SIWA, Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pelebur.
Suara ‘A’, ‘U’ dan ‘M’ ditunggalkan menjadi AUM atau OM.3
Dalam Agama Hindu, Sang
Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa atau Bhatara. Dewa adalah perwujudan sinar
suci dari Sang Hyang Widhi yang memberi kekuatan suci guna kesempurnaan hidup
makhluk. Dewa itu bukan Sang Hyang Widhi Wasa, Ia hanyalah sinarnya.
Kata ‘Dewa’ berasal
dari bahasa sansekerta ‘DIV’, artinya Sinar (kata ini menjadi Day dan Divine
dalam bahasa inggris). Tegasnya, Dewa berarti bersinar, sedangkan kata
Bhatara adalah prabhawa (manifestasi) kekuatan dari Sang Hyang Widhi untuk
memberi perlindungan terhadap ciptaannya.
Kata ‘Bhatara’ berasal
dari bahasa sansekerta ‘BHATR’ yang berarti pelindung, antara Dewa dan Bhatara
serincg pemakaiannya diartikan sama saja. Umpamanya Dewa Wisnu disebut juga
Bhatara Wisnu karena beliau melindungi makhluk semesta.
Tripramana
Agama Hindu mengajarkan
teori “TRIPRAMANA” yakni: tiga cara untuk mengetahui benar-benar adanya Tuhan
Yang Maha Esa, yaitu dengan cara:
A. PRATYAKSA PRAMANA ialah dengan cara melihat langsung, mengenal Tuhan Yang
Maha Esa hanya orang-orang sangat suci yang mungkin mengetahui Sang Hyang Widhi
dengan cara melihat langsung, yaitu dengan cara Pratyaksa pramana.
B. ANUMANA PRAMANA ialah dengan cara analisa yang mudah-mudah saja. Umat
Hindu percaya bahwa terdapatnya seluruh alam semesta tentu ada yang
menciptakan, yanki Sang Hyang Widhi. Apabila manusia mati tentu ada tempatnya
bagi atman yang lepas dari badan. Inipun tentu adalah Sang Hyang Widhi.
C. AGAMA PRAMANA ialah denga cara mempercayai isi pustaka suci Agama Hindu.
Umpamanya kitab suci Upanisad menyatakan bahwa Sang Hyang Widhi adalah “telinga
dari semua telinga; pikiran dari semua pikiran; ucapan dari segala ucapan;
nafas dari segala nafas; mata dari segala mata”, dan lain sebagainya.
Ø Adanya Sang Hyang Widhi
Maka dari itu, Sang
Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa merupakan maha Sempurna dan tidak terbatas,
karena itu manusia tidak dapat melihatnya. Walaupun manusia tidak dapat
melihat Sang Hyang Widhi bukanlah Sang Hyang Widhi tidak ada. Sebagai
halnya bintang-bintang di langit, tidak kelihatan pada siang hari tidak berarti
bahwa bintang-bintang itu tidak ada atau ada hanya pada waktu malam saja.
Justru karena mata manusia tidak mampu menembus sinar mataha;;;ri, maka dari
itulah sebabnya tidak dapat melihat bintang-bintang di langit. Akan tetapi
bintang-bintang itu tetap ada. Demikian pula lantaran manusia tidak dapat
menembus kegelapan jiwanya. Maka tidak dapat pula melihat Sang Hyang Widhi,
akan tetapi Sang Hyang Widhi pada hakikatnya tetap ada. Umat beragama yang
benar-benar melaksanakan kehidupan suci sesuai dengan petunjuk dan ajaran pustaka
suci, niscaya akan melihat Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dengan terang.
Tuhan Yang Maha Esa akan tampil dalam hati-sanubari para umat beragama dan jiwa
yang suci lagi murni.
Tidak Berbentuk
Dalam pustaka suci
Weda, disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi tidak berbentuk, tidak bertangan maupun
berkaki, tidak berpancaindra, tetapi beliau dapat mengetahui segala sesuatu
yang ada pada makhluk. Lagi pada Hyang Widhi tidak pernah lahir dan tidak
pernah tua, tidak pernah berkurang juga bertambah. Tegasnya Sang Hyang Widhi
tidak berbentuk tetapi karena kemuliaannya dapat mengambil wujud sesuai dengan
keadaan untuk menegakan Dharma. Perwujudan ini dinamakan AWATARA.
Ø Awatara
Istilah Awatara
adalah perwujudan Sang Hyang Widhi ke dunia dengan mengambil suatu bentuk
yang dengan perbuatan atau ajaran-ajaran sucinya, beri tuntutan untuk
membebaskan manusia dari penderitaan dan angkara murka disebabkan kegelapan
awidya.
Pustaka suci Bhagavadgita, Bab IV sloka 7
berbunyi:
“Manakala Dharma (kebenaran) mulai hilang
Dan Adharma (kejahatan) mulai merajalela,
Saat itu, wahai keturunan Brata (arjuna),
Aku sendiri turun menjelma.
Ternyata apabila dunia
dalam penderitaan dan dikuasai Adharma, maka Sang Hyang Widhi turun ke dunia
untuk menegakan Dharma. Dalam hal ini, Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa
dalam maifestasinya sebagai Wisnu, telah menjelma ke dunia ini sebagai Awatara
sebanyak Sembilan kali untuk menjelmakan dan menegakan Dharma. Dalam kitab suci
Purana, ada disebutkan DHASA AWATARA (Sepuluh Awatara)[6] sebagai berikut:
- MATYSA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi berbentuk ikan besar, telah menyelamatkan manusia dari banjir yang maha besar.
- KURMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai kura-kura raksasa telah menupu dunia ini agar terhindar dari bahaya terbenam.
- WARAHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai seekor badak agung yang telah menyelamatkan dunia dan mengait dunia dari bahaya terbenam.
- NARASIMBA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi dalam bentuk manusia berkepala samba (singa) telah menyelamatkan dunia dengan mebasmi kekejaman Raja Hirnyakasipu yang terkenal dengan lalim dan selalu menindas Dharma.
- WAMANA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai orang kerdil yang berpengengetahuan tinggi dan mulia, telah menyelamatkan dunia dengan mengalahkan Maharaja Bali yang selalu menginjak-injak Dharma dan kedaulatan negara.
- PARASHURAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia bentuk Ramaparashu, yakni Rama yang bersenjata kapak telah menyelamatkan dunia dengan membasmi segenap kesatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma.
- RAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagi Sri Rama, putra raja Dasharatha, telah menyelamatkan duina dengan membasmi Sang Rawana, raja kelaliman dan keangkaramurkaan di negeri Alengka.
- KRESNA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Sri Kresna , raja Dwarawati yang terkenal, telah membasmi raja Kangsa dan jarasada tokoh kelaliman.
- BUDDHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Buddha Gautama, putra raja Sudhodana yang lahir di kapilavastu, telah menyebarkan Dharma dan memberikan tuntunan kepada manusia untuk mencapai Nirwana.
KALKI
AWATARA: penjelmaan terakhir Sang Hyang Widhi akan membasmi segala penghianat
dan penyeleweng agama. KALKI akan turun ke dunia pada zaman Kali Yuda, yakni
zaman memuncaknya pertentangan. Menurut keyakinan umat Hindu, Awatara Kalki itu
sekarang amsih belum lahir, namun pasti akan lahir untuk melenyapkan
pertentangan-pertentangan keyakinan itu.
Rsi—Acarya/Sulinggih
Disamping Awatara,
dalam agama Hindu terdapat pula istilah ‘Rsi’ dan ‘Acarya’. Rsi adalah orang
suci yang atas usahanya melakukan tapa yoga, semadi, memiliki kesucian dan
dapat menghubungkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi dan sudah mencapai moksa,
sehingga dapat melihat hal-hal yang lampau (atita), yang sekarang (wartamana)
dan yang akan datang (anagata).
Para rsi berkewajiban
memelihara, menuntun umat manusia dengan ajaran-ajaran Weda. Awatara berbeda
dengan Rsi, sebab yang satu turun dari atas sedangka yang lainnya dari bawah
naik ke atas. Acarya berbeda pula dengan Rsi, sebab Rsi sudah melepaskan dir
dari ikatan keduniawian, sedangkan Acarya masih belum dapat melepaskan diri
dari ikatan keduniawian, ia harus melakukan upacara keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari.
3) Ajaran Tentang Seembahyang
Berkenaan dengan ajaran
mengenai ritual Hindu yang di ajarkan dalam naskah Kusumadewa sesungguhnya
tidak terlepas dengan beberapa mantra dan doa suci yang dilafaskan oleh pemanku
disatu tempat yang suci sesuai dengan rangkaian dan enis upacara yang
dijelaskan didalamnya.
Beberapa hal utama
sebagai periapan rituan Hindu yang diajarkan dalam naskah Kusumadewa yakni
pentingnya membersihkan sarana atau alat yang digunakan untuk melakukan
persembahyangan. Adapun alat tersebut antara lain.
- Membersihkan Cablong
- Menata tikar
- Memetik daun
- Memasang caniga
- Membersihkan juntandeg
- Mengisi juntanddeg air uci
- Meenempatan dupa pada bangunan suci
- Mengahturkan dupa
- Dll.
Sebagai akhir dari
semua rangkayan ritual dalam upacara piodalan adalah membagikan air suci atau
thirta yang diawali dengan memercikan pada bagian kepala sebanyak tiga kali ,
air suci ddi minum tiga kali, serta air suci digunakan untuk membersihkan muka
sebagai kesucian dan anugrah Ida sang Hyang Widhi Wasa juga dibasuhkn tiga kali
padda bagian muka. Terakhir adalah nunas sekar disertai ucapan ‘Ong
Kasumaduhadi jaya nama swaha’ yang maknanya anugrah dari sang Hyang widhi wasa.
Waktu berdetik-detik,
bermenit-menit berhari-hari, bertahun-tahun, terus berputas di kita semua. Para
Rsi kita menyadari bahwa pase-fase waktu tersebut mempengaruhi
kekuatan-kekuatan dan energi yang berbeda. Kekuatan-kekuatan itu digambarkan
sebagai dewa dan dewi. Mengucapkan doa atau arti pada jam-jam tersebut secara
teratur sangat penting karena kekuataan dewa dan dewi pada saat itu sangat
senssitif pada jam-jam tersebut. Demikian pula pada jam-jam untuk kita
beraktifitas kehidupan keagaamaan dan spiritual.
- Memahami filosofi sembahyang
Perseembahyangan daalam
agama Hindu yang dianut di Bali merupakan cara-cara melakukan hubungan Atma
dengan parama-atma, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua
manifestassinya.
- Arti dan makna seembahyang
Kata “seembahyang”
berasal dri bahasa Jawa Kuno. Sembah dalam bahasa jawa kuno berarti
“menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.
Sedangkan kata Hyang artinya “suci”. Jadi kata seembahyang berarti menyembah
yang suci untuk mnyerahkan diri pada yang hakekatnya lebih tinggi. Dalam bahasa
yang biasa yang mereka gunakan adalah “yajna/ yadnya”.
Istilah yajna berasal
dari akar kata sangsekerta “yaj” berarti menyembah, berdoa, berkorban, beramal
dan bekerja sunguh-sungguh. Pada dasarnya yajna bertujuan uuntuk membalas
hutang budi kepada Tuhan yang Maha Esa.
Panca yajna ialah lima hal yang dipersembahkan atau pengabdian
- Brahman yajna: berbakti pada Tuhan YME
- Devaa yajna: berbakti pada Dewata
- Pitri yajna: berbakti pada nenek moyang
- Nri yajna: sedekah pada yang miskin
- Bhuta yajna: memberikan makanan pada binatang
- Yang boleh di sembah
- Ida sang Hyang Widhi wasa
- Para dewa-dewa
- Para Rsi
- Leluhur
- Manusia
- Bhuta
Arti dan fungsi sarana sembahyang
Melakukan
perseembahyangan umumnya umat Hindu Bali menggunakan berbagai sarana untuk
memantapkan hatinya dalam melakukan perseembahyangan. Sarana itu ada berupa
bunga, buah, daun, api, dan juga thirta.
AJARAN HINDU DAN BUDDHA
DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh :
1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad :
1113032100068
Usup mardani:
1113032100072
Ø AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
A. Penciptaan Manusia
Dari segi arti katanya,
manusia berasal dari kata manushya, artinya "Makhluk yang memiliki
pikiran." Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk mengatur dirinya
menemui penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia menurut ajaran agama Hindu terdiri
dari tubuh dan jiwa atau roh. Tubuh merupakan wujud yang kelihatan dan yang
bersifat fana. Ada saatnya nanti tubuh ini mengalami kebinasaan. Sedangkan jiwa
atau roh itu bersifat kekal. Hal ini dapat dilihat dari petikan kitab Bhagawad
Gitta II.16 dan Bhagawad Gitta II. 20 di bawah ini:
"Apa yang tak akan
pernah ada; apa yang ada tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah
berhenti ada; keduanya hanya dapat dimengerti oleh orang yang melihat
kebenaran. Yang tak pernah lahir dan mati; juga setelah ada tak akan berhenti
ada, tidak dilahirkan, kekal, abadi, selamanya, tidak mati dikala tubuh jasmani
mati."
Dalam zaman Brahmana
diuraikan bahwa manusia terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang tampak dan
tak nampak. Bagian yang tampak disebut rupa, yang tersusun dari lima unsur,
yaitu: rambut, kulit, daging, tulang, dan sum-sum. Bagian yang tidak nampak
disebut nama, terdiri dari unsur-unsur yang menentukan hidup. yaitu: nafas
(prana atau atman), akal (budhi), pemikiran (manas), penglihatan (caksu), dan
pendengaran (strotra). Manusia memiliki lima alat pengindraan (Buddhendriya),
yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Juga memiliki
lima alat bertindak (karmendriya), yaitu: tangan, alat melahirkan (upastha),
alat mengeluarkan (payu), kaki, lidah.
Manusia tediri dari
lima skandha (skandha artinya tonggak). Kelima skandha tersebut ialah rupa,
wedana, sanna, sankhara, dan winnana. Rupa adalah kerangka anatomis atau alat
badani kita, yaitu baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sanna
ialah pengamatan dari segala macam, baik yang rohani maupun yang jasmani, yang
dengan perantara indra masuk ke dalam kesadaran. Sankhara adalah suatu skandha
yang sangat kompleks, yang di dalamnya mengandung kehendak, keinginan dan
sebagainya yang menjadikan skandha ini dapat menyusun gambar atau khayalan dari
apa yang diamati. Winnana adalah kesadaran. Yang disebut jiwa sebenarnya adalah
kelima skandha ini bersama-sama atau satu persatu.
Dalam diri manusia terdapat
atman. Atman tersebut diselubungi oleh beberapa selubung, yaitu dari luar ke
dalam: Selubung yang terdiri dari makanan atau tubuh sebagai selubung jasmani
(Annamaya atman); Selubung yang di bawah selubung jasmani, yaitu selubung yang
di tempati nafas hidup atau prana, yaitu selubung nafas ni (Pranamaya atman);
Selubung yang lebih mendalam lagi, yaitu selubung akali (Manomaya atman); lalu
terdapat selubung yang terdiri dari kesadaran (Wijnanamaya atman); dan bagian
terdalam terdapat atman dalam keadaan bahagia (Anandamaya atman) yaitu inti
sari manusia.
B. Penciptaan Alam
Dalam agama Hindu,
ajaran mengenai alam semesta tidak begitu jelas. Pengajaran mengenai alam
semesta tercakup dalam Kitab Agama atau kitab-kitab tantra. Pokok pengajaran
mengenai kitab-kitab ini membicarakan mengenai penciptaan alam semesta,
penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan persekutuan dengan zat
yang tertinggi. Dunia ini keluar dari Brahman, melalui persekutuan antara
purusa (jiwa atau inti pribadi perseorangan, yang tidak berubah dan tidak
aktif) dan prakrti (bukan jiwa yang badani atau asas yang bersifat kebendaan,
tetapi yang dalam keadaan yang semula mewujudkan suatu kesatuan yang tanpa
pembedaan). Prakrti mengandung didalamnya triguna atau tiga tabiat, yaitu:
sattwa (tabiat terang), rajas (tabiat penggerat), dan tamas (tabiat yang gelap,
masa bodoh, malas, dsb). Karena hubungan praktri dengan purusa, nisbah (rasio)
antara ketiga tabiat tadi berubah-ubah, yang menyebabkan berkembangnya dunia
yang beraneka ragam ini.
Penciptaan hanya suatu
ragam saja dari penjelmaan ilahi. Dunia yang mengalir dari Brahman itu terdiri
dari mahabrahmanda atau makrosmos dan bratbrahmanda atau mikrosmos. Mengenai
penciptaan ini terdapat berbagai pandangan. Dalam kitab Bhagawad Gitta III.10
dijelaskan mengenai hal ini, sekalipun masih samar-samar:
"Dahulu kala Hyang
Widhi menciptakan manusia dengan jalan yadhnya dan bersabda dengan ini engkau
akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan atau khamaduk sesuai dengan
keinginanmu."
(Sumber: Tony Tedjo,
Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung: 2011)
C. Hubungan Manusia dan Alam
Hindu dalam hal ini
Veda amat kaya akan konsep yang diulas secara sistimatis dan diakui bersama.
Salah satunya adalah konsep Rta dan Yajna dimana ini merupakan perlambang
adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan alam dan berbagai ciptaan
yang lain dimana semua memiliki arti penting yang sama dalam menjaga ekosistim,
yang ketiganya saling membutuhkan satu sama lain, dan saling memberi dan
menerima. Ini berbeda dengan kepercayaan lain yang menempatkan manusia sebagai
superior dalam ciptaan atau penikmat dari segala yang diciptakan dimana konsep
ini memiliki sisi lemah dimana manusia dapat menjadi arogan dan menempatkan
alam dan ciptaan yang lain hanya sebagai sapi perahan, manusia hanya mengambil
keuntungan dari alam dan ciptaan yang lain tanpa memperhatikan keberlangsungan
dari alam tersebut, ini lah terjadi pada saat ini. Kini alam perlahan sudah
tidak ramah lagi pada manusia, bencana demi bencana kini hadir, lalu apakah ini
cobaan dari Tuhan? Menurut saya ini adalah dampak dari mulai tidak akrabnya
manusia dengan alam, manusia berkembang dengan tidak memperdulikan alam.
Secara lebih rinci
konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik antara manusia
dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.
Rta Sebagai bagian
imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam
kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.
Yadnya merupakan hakikat
hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan harmonis,
seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsureunsur yang dimiliki
oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu
dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini.
Ø AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
a) Penciptaan Manusia
Dalam agama Buddha,
manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang
terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses
keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya
manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah
dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan
manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.
Proses sebab akibat ini
dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahir adalah sebab musabab
yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi
penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan
yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang
mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan
mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya
(perbuatannya) dikehidupan yang lalu.
Agama Buddha lebih
menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik
atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai
nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak adanya
nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita
merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang
mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur
keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal.
Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu
(awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya
suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang daripadanya segala sesuatu terdiri,
rangkaian dharma-dharma.
Dharma-dharma itu
terbagi atas lima golongan yang disebut dengan skanda: Rupa, yaitu badan, yang
badani, benda (materi); Vedana berupa perasaan-perasaan; Samnya, berupa
angan-angan bayangan -atau tanggapan; Samskara, berupa tenaga penggerak,
kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan karma; Vinaya, yaitu mengenani
kejelasan atau kesadaran.
Kehidupan manusia ini
diibaratkan seperti rantai. Ada 12 mata rantai kehidupan manusia: Avijja
(kebodohan batin), Sankhara (bentuk-bentuk karma), Patisando Vinarna
(kesadaran), nama dan raga (batin dan jasmani) Salayatana (enam landasan
India), Phassa (kortex), Vidana (perasaan); Tantra (nafsu keinginan); Upadana
(melekat), Bhava (terus menjadi tumbuh), jati (kelahiran); Jasa Marana (tua dan
mati).
b) Penciptaan Alam
Terbentuknya alam
semesta menurut ajaran Buddha berawal dari cahaya. Namun karena ketamakan diri
manusia, membuat alam semesta dan bumi ini terbentuk seperti sekarang ini. Hal
ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan
menghabiskan waktu berabad-abad lamanya. Dalam prosesnya, alam semesta hanya
terbentang ini tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Ada tiga susunan alam
semesta, yaitu:
i. Alam hawa nafsu (kamavacara), alam ini terdiri dari bahan-bahan kasar dan
unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang didiami oleh makhluk-makhluk
berbadan kasar (jasmani).
ii. Alam bentuk (rupavacara), alam ini didiami oleh dewa-dewa yang masih
memiliki badan yang lebih halus, tetapi tidak memiliki hawa nafsu.
iii. Alam yang tidak ada bentuk (arupavacara), pada alam ini didiami oleh
dewa-dewa yang tidak berbadan, artinya masuk kea lam ini setelah pengheningan
cipta (nibana).
Kisah kejadian alam
semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam Dighya Nikaya, Agganna Sutta,
dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta diterangkan bahwa sebelum terbentuknya
dunia baru yang ditempati manusia, dunia yang lama mengalami kehancuran
(kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama sekali, maka terbentuklah dunia
yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula makhluk-makhluk yang mati di alam
cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara spontan sebagai makhluk di bumi yang
baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup dari ciptaan batin (manomaya),
memiliki tubuh yang bercahaya dan melayang-layang. Pada saat itu belum ada
laki-laki dan perempuan, mereka hanya dikenal sebagai makhluk saja.
Sebagian makhluk
memiliki tubuh yang indah, sebagian makhluk lainnya memiliki tubuh yang buruk.
Oleh karena hal ini, mereka memandang rendah makhluk yang bertubuh buruk,
sehingga sari tanah yang mereka makan lenyap. Selanjutnya, tumbuh-tumbuhan
menjalar, kemudian timbul sejenis padi purba, namun karena keserakahan dan
kemalasan mereka (menuai padi untuk disimpan lama), sehingga batang padi yang
dipotong tidak tumbuh lagi dalam waktu yang lama (masa menunggu).
Berdasarkan apa yang
mereka makan, bentuk tubuh mereka semakin padat, dan perbedaan tubuh mereka
semakin Nampak jelas. Wanita lebih jelas kewanitaannya (itthilinga) dan
laki-laki lebih jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Mulai sejak itu,
laki-laki memperhatikan wanita dan wanita memperhatikan laki-laki. Sehingga
muncullah nafsu birahi (indriya) yang membara. Sebagai akibat munculnya nafsu
ini, mereka melakukan hubungan seks yang kemudian menghasilkan keturunan.
(Sumber: Tony Tedjo,
Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, Pionir Jaya, Bandung: 2011)
c) Hubungan Manusia dan Alam
Pandangan ajaran Buddha
terhadap alam (alam semesta)
Menurut sang Buddha,
bahwa sifat segala sesuatu adalah terus berubah (anicca). Begitu pula dengan
sifat alam. Alam bersifat dinamis dan kinetik, selalu berproses dengan
seimbang. Unsur-unsur alam yang tampak dalam pandangan Buddha ada empat, yakni
unsur padat (pathavi), cair (apo), panas (tejo), gerak (vayo).
Hukum yang berlaku pada
alam(alam semesta) dapat dikategorikan dalam lima aturan yang disebut panca
niyamadhamma, yaitu utuniyama (hukum fisika), bijaniyama (hukum biologi),
cittaniyama (hukum psikologis), kammaniyama (hukum moral), dhammaniyama (hukum
kausalitas).
Pandangan ajaran Buddha
terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)
Makhluk hidup dalam ajaran
Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk
hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok kehidupan yang disebut
lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud yang tampak/badan jasmani), vedana
(perasaan), sanna(pencerapan,mengingat), sankhara (keadaan-keadaan pikiran),
vinnana (kesadaran). Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin
(rupadan nama).
Sang Buddha menyadari
bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal atau selalu
berubah-ubah (anicatta), tidak memuaskan
atau menderita (dukkhata), dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal
(anattata). Jadi makhluk hidup—manusia dan hewan— sebagai sesuatu yang
berkondisi mempunyai sifat anicca, dukkha, dan anatta.
KONSEP KETUHANAN DAN
AJARAN DALAM AGAMA HINDU DHARMA
Disusun
Oleh:
Kelompok Lima (5)
Ismail Sholeh : 1113032100040
Wahid Muhammad : 1113032100068
Sukmaya : 1113032100043
Yudi Attahrim : 1113032100061
Usup Mardani : 11130321000
1) konsep KeTuhanan
Tuhan Yang Maha Esa Menurut Hindu Dharma
Menurut Hindu Dharma,
Tuhan hanya satu. Umat Hindu di Indonesia memberi Dia gelar Sang Hyang Widhi
Wasa ‘Widhi’ berarti takdir dan ‘Wasa’ artinya Yang Maha Kuasa. ‘Widhi Wasa’ berarti
Yang Maha Kuasa, yang mentakdirkan segala yang ada.
Dia juga disebut
Bhatara Ciwa Pelindung Yang Tertinggi. Banyak gelar lagi yang dipersembahkan
oleh umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Sang Hyang Parameswara raja
Termulia, Parama Wicesa, Maha Kuasa, jagat Karana pencita Alam dan
lain-lainnya.
Sebagai pencipta Ia
bergelar Brahma (Utpatti), dalam aksara Ia disimbolkan dengan huruf ‘A’.
Sebagai pemelihara dan pelindung (Sthiti) ia disebut Wisnu dalam aksara
disimbolkan huruf ‘U’. Sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi alam kepada
suber asalnya (Pralina) Ia bergelar Ciwa; sering juga disebut sebagai Icwara,
sibolnya dalam aksara adalah huruf ‘M’.
Sebagaimana yang telah
disebutkan dalam pustaka suci Weda: “EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN” , artinya:
“hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya Adwityam Hyang Widhi itu itu “EKO
NARAYANAD NA DWITYO’STI KACIT” artinya: “hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada
duathnya”.
2) Tri Sakti
Gelar Tuhan disebut
dengan berbagai nama disebabkan sifat-sifat Sang Hyang Widhi Yang Maha Mulia,
Maha Kuasa, Maha Pengasih dan tiada terbatas. Sedangkan kekuatan manusia untuk
menggambarkan Sang Hyang Widhi sangat terbatas. Rsi-rsi agama Hindu hanya mampu
memberi sebutan dengan berbagai nama serta berbagai fungsinya. Yang paling
utama ialah TRI SAKTI, yakni:
A. BRAHMA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pencipta,
dalam bahasa sansekerta disebut “UTPATTI”.
B. WISNU adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung,
pemelihara dengan segala kasih-sayangnya. Pelindung dalam bahasa sansekerta
disebut “STHITI”.
C. SIWA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya melebur (pralina)
dunia serta isinya dan mengembalikan dalam penyadaran ke asal.
TRI SAKTI ini mencipta,
memelihara dan melebur semesta alam. Mereka menguasai ketiga hukum: lahir,
hidup, dan mati serta seluruh makhluk, termasuk manusia. untuk dapat meresapkan
kemahakuasaan Hyang Widhi ini, agama Hindu memberikan simbol pada kekuatannya
dalam ucapan aksara suci “OM”.[7][1][7]
Perkataan “OM” adalah aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan
ketiga prabawanya, yaitu:
Aksara ‘A’ untuk menyimbolkan BRAHMA , Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pencipta.
Aksara ‘U’ untuk
menyimbolkan WISNU, Hyang Widhi prabhawanya Maha Melindungi.
Aksara ‘M’ untuk menyimbolkan SIWA, Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pelebur.
Suara ‘A’, ‘U’ dan ‘M’ ditunggalkan menjadi AUM atau OM.3
Dalam Agama Hindu, Sang
Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa atau Bhatara. Dewa adalah perwujudan sinar
suci dari Sang Hyang Widhi yang memberi kekuatan suci guna kesempurnaan hidup
makhluk. Dewa itu bukan Sang Hyang Widhi Wasa, Ia hanyalah sinarnya.
Kata ‘Dewa’ berasal
dari bahasa sansekerta ‘DIV’, artinya Sinar (kata ini menjadi Day dan Divine
dalam bahasa inggris). Tegasnya, Dewa berarti bersinar, sedangkan kata
Bhatara adalah prabhawa (manifestasi) kekuatan dari Sang Hyang Widhi untuk
memberi perlindungan terhadap ciptaannya.
Kata ‘Bhatara’ berasal
dari bahasa sansekerta ‘BHATR’ yang berarti pelindung, antara Dewa dan Bhatara
serincg pemakaiannya diartikan sama saja. Umpamanya Dewa Wisnu disebut juga
Bhatara Wisnu karena beliau melindungi makhluk semesta.
Tripramana
Agama Hindu mengajarkan
teori “TRIPRAMANA” yakni: tiga cara untuk mengetahui benar-benar adanya Tuhan
Yang Maha Esa, yaitu dengan cara:
A. PRATYAKSA PRAMANA ialah dengan cara melihat langsung, mengenal Tuhan Yang
Maha Esa hanya orang-orang sangat suci yang mungkin mengetahui Sang Hyang Widhi
dengan cara melihat langsung, yaitu dengan cara Pratyaksa pramana.
B. ANUMANA PRAMANA ialah dengan cara analisa yang mudah-mudah saja. Umat
Hindu percaya bahwa terdapatnya seluruh alam semesta tentu ada yang
menciptakan, yanki Sang Hyang Widhi. Apabila manusia mati tentu ada tempatnya
bagi atman yang lepas dari badan. Inipun tentu adalah Sang Hyang Widhi.
C. AGAMA PRAMANA ialah denga cara mempercayai isi pustaka suci Agama Hindu.
Umpamanya kitab suci Upanisad menyatakan bahwa Sang Hyang Widhi adalah “telinga
dari semua telinga; pikiran dari semua pikiran; ucapan dari segala ucapan;
nafas dari segala nafas; mata dari segala mata”, dan lain sebagainya.
Ø Adanya Sang Hyang Widhi
Maka dari itu, Sang
Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa merupakan maha Sempurna dan tidak terbatas,
karena itu manusia tidak dapat melihatnya. Walaupun manusia tidak dapat
melihat Sang Hyang Widhi bukanlah Sang Hyang Widhi tidak ada. Sebagai
halnya bintang-bintang di langit, tidak kelihatan pada siang hari tidak berarti
bahwa bintang-bintang itu tidak ada atau ada hanya pada waktu malam saja.
Justru karena mata manusia tidak mampu menembus sinar mataha;;;ri, maka dari
itulah sebabnya tidak dapat melihat bintang-bintang di langit. Akan tetapi
bintang-bintang itu tetap ada. Demikian pula lantaran manusia tidak dapat
menembus kegelapan jiwanya. Maka tidak dapat pula melihat Sang Hyang Widhi,
akan tetapi Sang Hyang Widhi pada hakikatnya tetap ada. Umat beragama yang
benar-benar melaksanakan kehidupan suci sesuai dengan petunjuk dan ajaran
pustaka suci, niscaya akan melihat Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dengan
terang. Tuhan Yang Maha Esa akan tampil dalam hati-sanubari para umat beragama
dan jiwa yang suci lagi murni.
Tidak Berbentuk
Dalam pustaka suci
Weda, disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi tidak berbentuk, tidak bertangan maupun
berkaki, tidak berpancaindra, tetapi beliau dapat mengetahui segala sesuatu
yang ada pada makhluk. Lagi pada Hyang Widhi tidak pernah lahir dan tidak
pernah tua, tidak pernah berkurang juga bertambah. Tegasnya Sang Hyang Widhi
tidak berbentuk tetapi karena kemuliaannya dapat mengambil wujud sesuai dengan
keadaan untuk menegakan Dharma. Perwujudan ini dinamakan AWATARA.
Ø Awatara
Istilah Awatara
adalah perwujudan Sang Hyang Widhi ke dunia dengan mengambil suatu bentuk
yang dengan perbuatan atau ajaran-ajaran sucinya, beri tuntutan untuk
membebaskan manusia dari penderitaan dan angkara murka disebabkan kegelapan
awidya.
Pustaka suci Bhagavadgita, Bab IV sloka 7
berbunyi:
“Manakala Dharma (kebenaran) mulai hilang
Dan Adharma (kejahatan) mulai merajalela,
Saat itu, wahai keturunan Brata (arjuna),
Aku sendiri turun menjelma.
Ternyata apabila dunia
dalam penderitaan dan dikuasai Adharma, maka Sang Hyang Widhi turun ke dunia
untuk menegakan Dharma. Dalam hal ini, Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa
dalam maifestasinya sebagai Wisnu, telah menjelma ke dunia ini sebagai Awatara
sebanyak Sembilan kali untuk menjelmakan dan menegakan Dharma. Dalam kitab suci
Purana, ada disebutkan DHASA AWATARA (Sepuluh Awatara)[8][2][11] sebagai berikut:
- MATYSA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi berbentuk ikan besar, telah menyelamatkan manusia dari banjir yang maha besar.
- KURMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai kura-kura raksasa telah menupu dunia ini agar terhindar dari bahaya terbenam.
- WARAHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai seekor badak agung yang telah menyelamatkan dunia dan mengait dunia dari bahaya terbenam.
- NARASIMBA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi dalam bentuk manusia berkepala samba (singa) telah menyelamatkan dunia dengan mebasmi kekejaman Raja Hirnyakasipu yang terkenal dengan lalim dan selalu menindas Dharma.
- WAMANA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai orang kerdil yang berpengengetahuan tinggi dan mulia, telah menyelamatkan dunia dengan mengalahkan Maharaja Bali yang selalu menginjak-injak Dharma dan kedaulatan negara.
- PARASHURAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia bentuk Ramaparashu, yakni Rama yang bersenjata kapak telah menyelamatkan dunia dengan membasmi segenap kesatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma.
- RAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagi Sri Rama, putra raja Dasharatha, telah menyelamatkan duina dengan membasmi Sang Rawana, raja kelaliman dan keangkaramurkaan di negeri Alengka.
- KRESNA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Sri Kresna , raja Dwarawati yang terkenal, telah membasmi raja Kangsa dan jarasada tokoh kelaliman.
- BUDDHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Buddha Gautama, putra raja Sudhodana yang lahir di kapilavastu, telah menyebarkan Dharma dan memberikan tuntunan kepada manusia untuk mencapai Nirwana.
KALKI
AWATARA: penjelmaan terakhir Sang Hyang Widhi akan membasmi segala penghianat
dan penyeleweng agama. KALKI akan turun ke dunia pada zaman Kali Yuda, yakni zaman
memuncaknya pertentangan. Menurut keyakinan umat Hindu, Awatara Kalki itu
sekarang amsih belum lahir, namun pasti akan lahir untuk melenyapkan
pertentangan-pertentangan keyakinan itu.
Rsi—Acarya/Sulinggih
Disamping Awatara,
dalam agama Hindu terdapat pula istilah ‘Rsi’ dan ‘Acarya’. Rsi adalah orang
suci yang atas usahanya melakukan tapa yoga, semadi, memiliki kesucian dan
dapat menghubungkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi dan sudah mencapai moksa,
sehingga dapat melihat hal-hal yang lampau (atita), yang sekarang (wartamana)
dan yang akan datang (anagata).
Para rsi berkewajiban
memelihara, menuntun umat manusia dengan ajaran-ajaran Weda. Awatara berbeda
dengan Rsi, sebab yang satu turun dari atas sedangka yang lainnya dari bawah
naik ke atas. Acarya berbeda pula dengan Rsi, sebab Rsi sudah melepaskan dir
dari ikatan keduniawian, sedangkan Acarya masih belum dapat melepaskan diri
dari ikatan keduniawian, ia harus melakukan upacara keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari.
3) Ajaran Tentang Seembahyang
Berkenaan dengan ajaran
mengenai ritual Hindu yang di ajarkan dalam naskah Kusumadewa sesungguhnya
tidak terlepas dengan beberapa mantra dan doa suci yang dilafaskan oleh pemanku
disatu tempat yang suci sesuai dengan rangkaian dan enis upacara yang dijelaskan
didalamnya.
Beberapa hal utama
sebagai periapan rituan Hindu yang diajarkan dalam naskah Kusumadewa yakni
pentingnya membersihkan sarana atau alat yang digunakan untuk melakukan
persembahyangan. Adapun alat tersebut antara lain.
- Membersihkan Cablong
- Menata tikar
- Memetik daun
- Memasang caniga
- Membersihkan juntandeg
- Mengisi juntanddeg air uci
- Meenempatan dupa pada bangunan suci
- Mengahturkan dupa
- Dll.
Sebagai akhir dari
semua rangkayan ritual dalam upacara piodalan adalah membagikan air suci atau
thirta yang diawali dengan memercikan pada bagian kepala sebanyak tiga kali ,
air suci ddi minum tiga kali, serta air suci digunakan untuk membersihkan muka
sebagai kesucian dan anugrah Ida sang Hyang Widhi Wasa juga dibasuhkn tiga kali
padda bagian muka. Terakhir adalah nunas sekar disertai ucapan ‘Ong
Kasumaduhadi jaya nama swaha’ yang maknanya anugrah dari sang Hyang widhi wasa.
Waktu berdetik-detik,
bermenit-menit berhari-hari, bertahun-tahun, terus berputas di kita semua. Para
Rsi kita menyadari bahwa pase-fase waktu tersebut mempengaruhi
kekuatan-kekuatan dan energi yang berbeda. Kekuatan-kekuatan itu digambarkan
sebagai dewa dan dewi. Mengucapkan doa atau arti pada jam-jam tersebut secara
teratur sangat penting karena kekuataan dewa dan dewi pada saat itu sangat
senssitif pada jam-jam tersebut. Demikian pula pada jam-jam untuk kita
beraktifitas kehidupan keagaamaan dan spiritual.
- Memahami filosofi sembahyang
Perseembahyangan daalam
agama Hindu yang dianut di Bali merupakan cara-cara melakukan hubungan Atma dengan
parama-atma, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua
manifestassinya.
- Arti dan makna seembahyang
Kata “seembahyang”
berasal dri bahasa Jawa Kuno. Sembah dalam bahasa jawa kuno berarti
“menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.
Sedangkan kata Hyang artinya “suci”. Jadi kata seembahyang berarti menyembah
yang suci untuk mnyerahkan diri pada yang hakekatnya lebih tinggi. Dalam bahasa
yang biasa yang mereka gunakan adalah “yajna/ yadnya”.
Istilah yajna berasal
dari akar kata sangsekerta “yaj” berarti menyembah, berdoa, berkorban, beramal
dan bekerja sunguh-sungguh. Pada dasarnya yajna bertujuan uuntuk membalas
hutang budi kepada Tuhan yang Maha Esa.
Panca yajna ialah lima hal yang dipersembahkan atau pengabdian
- Brahman yajna: berbakti pada Tuhan YME
- Devaa yajna: berbakti pada Dewata
- Pitri yajna: berbakti pada nenek moyang
- Nri yajna: sedekah pada yang miskin
- Bhuta yajna: memberikan makanan pada binatang
- Yang boleh di sembah
- Ida sang Hyang Widhi wasa
- Para dewa-dewa
- Para Rsi
- Leluhur
- Manusia
- Bhuta
Arti dan fungsi sarana sembahyang
Melakukan
perseembahyangan umumnya umat Hindu Bali menggunakan berbagai sarana untuk
memantapkan hatinya dalam melakukan perseembahyangan. Sarana itu ada berupa
bunga, buah, daun, api, dan juga thirta.
AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG ETIKA (SILA)
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Usup mardani: 1113032100072
Yudi attahrim: 1113032100060
A. Pengertian
Sila
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang artinya “sifat”
atau “adat kebiasaan”. Menurut KBBI etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk tentang hak dan kewajiban moral.
Pelaksanaan sila dalam agama Buddha adalah merupakan suatu
kebijakan moral, etika atau tata tertib dalam menjalani kehidupan kita sebagai
manusia sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri,
orang lain, bahkan seluruh alam semesta beserta isinya.
Sila dalam buku-buku agama Buddha sering diterjemahkan sebagai
“moral, kebajikan, atau perbuatan baik”. Ajaran Buddha tentang sila adalah
etika Buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku baik. Menurut
kosa kata bahasa Pali, “sila” dalam pengertian luas padanannya adalah “etika”
dan dalam pengertian sempit padananya adalah “moral”.
Sehingga umat Buddha dianjurkan untuk melaksanakan semua sila.
Buddhaghosa dalam kitab Visuddhimagga menafsirkan sila sebagai berikut:
pertama, sila menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetana). Kedua,
menunjukkan penghindaran (virata) yang merupakan unsur batin (cetasika).
Ketiga, menunjukan pegendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan tiada
pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avitikhama).
B. Macam-macam
sila:
1) Dengan
mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
melindungi kehidupan.
2) Dengan
mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
hanya mengambil apa yang diberikan pada saya tanpa pamrih.
3) Dengan
mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
menjaga hubungan dan menghindari perilaku seksual yang keliru.
4) Dengan
mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
berbicara baik dan jujur.
5) Dengan
mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih
melindungi kejernihan pikiran dengan menghindari hal-hal yang membuat kecanduan
Selain itu dalam Buddhisme Mahayana juga menjabarkan lebih lanjut
dalam Sad Paramita yaitu Sila Paramita
dengan hal-hal yang pantang dilakukan sebagai 10 (sepuluh)
perbuatan buruk sebagai mana tercatat dalam
Dasabhumika Sutra, Satasaharrika Prajnaparamita dan Maha Vyutpatti
yaitu:
I. Pantangan Membunuh
Pantangan membunuh ini dapat dijabarkan dengan tidak membunuh
ataupun menyiksa tubuh atau badan yang mengandung kehidupan, yang besar atau
yang kecil, yang berdosa atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup.
Sila ini mengajarkan agar kita selalu memiliki sifat cinta kasih dan kasih
saying terhadap semua makhluk hidup.
II. Pantangan Mencuri
Pantangan mencuri dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil
atau memiliki sesuatu apakah berharga ataupun tidak berharga apabila tidak
diijinkan oleh pemiliknya. Pelaksanaan ini akan mengkibarkan kita selalu merasa
puas terhadap apa yang telah kita miliki.
III.
Pantangan Melakukan Perbuatan Perzinahan
Pantangan melakukan perbuatan perzinahan dapat diartikan tidak
melakukan persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami atau istri
sendiri. Sila ini mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hahwa nafsu
birahi yang rendah.
IV.
Perbuatan Yang Pantang Untuk dilakukan Oleh Ucapan
Yaitu suatu pantangan perbuatan yang dilakukan melalui ucapan.
Tetrdapat 4 (empat) perbuatan yang pantang dilakukan yaitu pantang berdusta,
pantang menyebarkan isu yang tidak benar, pantang mengucapkan kata-kata kotor
dan pantang melakukan pembicaraan yang sia-sia.
V. Pantang Berdusta
Pantang berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur, dimana
dengan kekuatan kejujuran tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi
segala rintangan. Sila ini mengajarkan agar kita senantiasa berterus terang dan
bersifat konsekuen terhadap segala sesuatu yang telah diucapkan.
VI.
Pantang Menyebarkan Isu Yang Tidak Benar
Hal ini berarti kita tidak
boleh menyebarkan berita-berita yang tidak benar (palsu) dengan tujuan
merugikan orang lain, menimbulkan pertentangan dan perpecahan
kelompok/masyarakat.
VII.
Pantangan Mengucapkan Kata-kata Kotor
Pantangan ini dapat diartikan agar kita tidak mencaci maki dengan
kata-kata kasar, kotor, tajam, penuh penghinaan ataupun yang dapat menyinggung
perasaan seseorang. Sila ini mengajarkan agar kita dapat bersifat sopan santun,
sabar, dan penuh kewibawaan serta kebijaksanaan.
VIII.
Pantangan Melakukan Pembicaraan Sia-sia
Artinya segala pembicaraan yang kita lakukan haruslah dipikirkan
terlebih dahulu dan tidak melakukan suatu pembicaraan yang tidak berguna.
IX.
Pantangan Memikirkan Nafsu Serakah
Pantangan ini dapat diartikan bahwa kita janganlah memikirkan
sesuatu untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau
sesuatu yang bukan milik atau hak kita.
X. Pantangan Berniat Jahat
Pantangan berniat jahat dapat diartikan bahwa kita janganlah mempunyai pikiran untuk berbuat jahat
sehingga tidak terperangkap dalam niat jahat tersebut yang dapat mendorong kita
untuk melakukan perbuatan jahat tanpa kita sadari.
XI.
Pantangan Berpandangan Sesat\
Hal ini dapat diartikan
bahwa kita janganlah berpandangan yang keliru terhadap segala sesuatu.
Jadi jelaslah bila kita
menjalankan sila dengan baik maka kita akan mendapat kebahagiaan, dan
apabila jika berbuat jahat maka akan
menderita. Adapun manfaat/faedah dari sila, Sang Buddha bersabda dalam kitab suci MAHA PARI NIBHANA SUTTA sebagai
berikut:
1. Sila
menyebabkan seseorang banyak harta.
2. Nama
dan kemsyhuran akan tersebar luas.
3. Menjadikan
seseorang tenang (tanpa ketakutan, tanpa keraguan, dan tidak takut di cela
orang dimanapun dia berada).
4. Menjadikan
seseorang tenang di saat menghadapi ajalnya sekalipun.
5. Akan
terlahir di alam bahagia.
6. Menjadi
orang yang dicintai oleh makhluk-makhluk lain.
Perlunya etika timbul dari kenyataan bahwa manusia tidak sempurna;
ia harus melatih dirinya untuk menjadibaik. Jadi moralitas menjadi aspek paling
penting dalam kehidupan. Etika umat Buddha bukanlah patokan
asal-asaloan yang ditemukan orang untuk tujuan manfaatnya sendiri.
Etika umat Buddha tidak berlandaskan pada adat social yang berubah
tetapi pada hukum alam yang tidak
berubah. Nilai-nilai etika umat Buddha pada hakikatnya adalah
bagian dari alam dan hukum tetap sebab
akibat moral (kamma).
Sila pertama kali diajarkan oleh Sang Buddha kepada lima petapa
yang bernama Assajji, Vappa, Bhadiya,kondanna, dan Mahanama sewaktu menjabarkan
Empat Kesunyataan Mulia (Cattaro Ariyasaccani) yangkemudian disebut
Dhammacakkapavattana Sutta.
C. Catur
Mara
Mara ialah sifat-sifat setan yang ada pada diri manusia.
sifat-sifat itu ialah sifat yang mengundang kejahatan dan
kegelisahan hati seperti, marah, dendam, curiga, dan lain-lain.
Sedangkan catur mara artinya empat sifat
Setan/jahat.
ü Dosa: ialah kebencian yang menjadi akar dari perbuatan jahat
(akusala-kamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya metta. Dosa ini secara
etika (ajaran tentang keluhuran budi dan peraturan kesopanan) berarti
kebencian. Tetapi secara psikologi (kejiwaan) berarti pukulan yang berat dari
pikiran terhadap objek yang bertentangan. Mengenai ini terdapat dua macam nama
yaitu:
1. Patigha=
Jijik atau tidak senang.
2. Vyapada=
Kemauan Jahat.
ü Lobha: Ialah serakah yang menjadi akar dari perbuatan jahat
(akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya karuna. Lobha ini secara
etika berarti keserakahan/ketamakan.
ü Issa: Ialah iri hati yaitu perasaan tidak senang melihat makhluk
lain berbahagia yang menjadi akar dari perbuatan jahat dan akan lenyap bila
dikembangkannya mudita.
ü Moha: Ialah kegelisahan batin sebagai akibat dari perbuatan dosa,
lobha dan Issa, akan lenyap bila dikembangkanya upekkha. Moha berarti kebodohan
dan kurangnya pengertian. Selain daripada itu Moha juga disebut Avijja=
Katidak-tahuan. Atau Annaha= tidaak berpengetahuan, atau Adassana= Tidak
Melihat.
D. Catur
Paramitha
Catur Paramitha ialah sifat-sifat ketuhanan yang ada pada diri
manusia. Sedangkan Catur Paramitha ialah empat
sifat ketuhanan:
1. Metta:
Ialah cinta kasih universal yang menjadi akar dari perbuatan baik
(Kusala-Kamma). Bila ini berkembang dosa akan tertekan.
2. Karuna:
Ialah kasih sayng universal karena melihat suatu
kesengsaraan yang menjadi akar dari perbuatan baik. Bila ini berkembang lobha
akan tertekan.
3. Mudhita:
Ialah perasaan bahagia universal karena melihat makhluk lain bergembira yang
menjadi akar dari perbuatan baik. Bila ini berkembang issa akan tertekan.
4. Upekha:
Ialah keseimbangan batin universal sebagai hasil dari melaksanakan metta, karuna,
mudhita dan upekha juga merupakan akar dari perbuatan baik. Bila ini telah
berkembang moha akan tertekan. Bahkan akan lenyap.
E. Hubungan sila dengan catur paramitha
Sila bertujuan untuk memperoleh suatu penghidupan yang bahagia dan
harmonis bagi orang itu sendiri dan juga untuk orang-orang disekelilingnya.
Sila dapat dilaksanakan dengan baik apabila pikiran penuh dengan catur
paramitha.
Pelaksanaan aturan moralitas Buddhis bagi umat awan
bertujuan untuk memperoleh kedamaian dan ketenangan bagi diri sendiri maupun
orang lain. Sila adalah langkah terpenting dalam menjalani kehidupan
untuk mencapai peningkatan batin yang luhur.
Untuk memperoleh kesempurnaan ada 2 macam sifat luhur yang harus
dikembangkan bersamaan yaitu : metta / karuna (cinta kasih), panna(
kebijaksanaan) Dari matta/ karuna dan panna dapat dilihat bahwa cinta kasih dan
kebijaksanaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
AJARAN HINDU DHARMA TENTANG ETIKA (SUSILA)
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Usup mardani: 1113032100072
AJARAN HINDU DHARMA TENTANG ETIKA (SUSILA)
A. Pengertian Susila
Susila berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah awalan yang
berarti amat baik, atau sangat baik, mulia, dan indah. Sedangkan kata sila
berarti tingkah laku atau kelakuan.
Jadi Susila berarti tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia
yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Manusia adalah makhluk individu dan
juga makhluk sosial. Sebagai individu manusia mempunyai kemauan dan kehendak
yang mendorong ia berbuat baik dan bertindak. Berbuat yang baik (Susila) yang
selaras dengan ajaran agama atau dharma adalah cermin dari manusia yang Susila.
Manusia Susila adalah manusia yang memiliki budhi pekerti tinggi yang bisa diterima
oleh lingkungan di mana orang itu berada.
Demi tegaknya kebenaran dan keadilan di dunia ini manusia yang
ber-Susila atau bertingkah laku yang baik sangat diharapkan. Manusia yang
susila adalah penyelamat dunia (Tri Buana) dengan segala isinya. Apapun yang
dilakukan oleh orang Susila tentu akan tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa
akan selalu menyertainya. Orang-orang di sekitarnya selalu hormat dan
menghargainya. Kalau saja di dunia ini tidak ada orang yang Susila maka sudah
tentu dunia ini akan hancur dilanda oleh ke-Dursilaan atau kejahatan. Sebab,
Susila merupakan alat untuk menjaga Dharma.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku
hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan
alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya),
keikhlasan dan kasih sayang.
Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan
menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula.
Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Memahami Beberapa Ajaran Agama Hindu yang Berhubungan dengan
Susila, Ada banyak pelajaran Agama Hindu yang berhubungan dengan pemahaman
susila di antaranya:
1. Filsafat Tat Twam Asi
Tat Twam Asi berasal dari kata “Tat” yang berarti “Itu”, “Twam”
berarti “Kamu”, dan “Asi” berarti “adalah”. Jadi Tat Twam Asi dapat diartikan
menjadi “Itu adalah Kamu”. Kata “Itu” dapat pula diartikan sebagai “Dia”
sehingga Tat Twam Asi dapat bermakna “Dia adalah Kamu”. Secara bebas dapat pula
diterjemahkan menjadi “Kamu adalah Dia” jadi kamu adalah dia itu adalah sama
saja. Ini berarti bahwa semua manusia pada hakekatnya adalah sama. Jika dilihat
dari segi Atman atau jiwanya, maka Tat Twam Asi dapat diartikan sebagai “jiwa
orang itu adalah jiwa kamu”. Jadi Atman orang ini dan Atman orang itu adalah
sama. Atman itu memang sama karena bersumber dari percikan sinar suci Tuhan
Yang Satu. Semua manusia sebenarnya memang bersaudara.
Dalam filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran
kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan prikemanusiaan dan Pancasila.
Konsepsi sila prikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara
sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Twanm Asi yang terdapat dalam
kitab seci Weda. Dengan demikian, dapat dikatakan mengerti dan memahami serta
mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran Weda.
Karena maksud yang terkandung di dalam ajaran Tat Twain Asi ini “ia adalah
kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama”, sehingga bila kita
menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri.
Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran Agama
Hindu Wujud nyata/rill dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan
prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya
memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang dimotivasi oleh keingina: (kama)
manusia yang bersangkutan. Sebutan manusia sebagai makhluk hidup banyak jenis,
sifat, dan ragamnya, seperti sebutan manusia sebagai makhluk individu, sosial,
religius, ekonomis, dan budaya. Semua itu harus dapat di penuhi oleh manusia
secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisi
serta keterbatasan yang dimilikinya. Betapa pun susah yang dirasakan oleh individu
yang bersangkutan. Di sinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa
kebersamaan, sehingga seberapa berar masalah yang dihadapinya akan terasa
ringan. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat
merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini. Kita tahu bahwa berat
dan ringan. (Rwabhineda) itu ada dan selalu berdampingan serta sulit dipisahkan
keberadaannya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya selalu
saling tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan.
2. Pengertian Cubhakarma (perbuatan
baik) dan jenis-jenisnya
Cubhakarma berasal dari bahasa sanskerta yang berarti perbuatan
baik. Cubhakarma terbagi menjadi 12 yaitu:
1) Tri Kaya Parisuda
Tri Kaya Parisuda berasal dari kata tri artinya tiga, kaya berarti
tingkah laku dan parisuda mulia atau bersih. Tri Kaya Parisuda dengan demikian
berarti tiga tingkah laku yang mulia (baik).
Adapun tiga tingkah laku yang baik termaksud adalah:
Ø Manacika (berpikir yang baik dan suci). Seseorang dapat dikatakan
manacika apabila ia:
I. Tidak
menginginkan sesuatu yang tidak halal.
II. Tidak
berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk lainnya.
III.
Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
Ø Wacika (berkata yang baik dan benar). Seseorang dapat dinyatakan
sebagai wacika, apabila ia:
I. Tidak
mencaci maki orang lain.
II. Tidak
berkata-kata yang kasar kepada orang lain.
III.
Tidak memfitnah atau mengadu domba
IV.
Tidak ingkar janji.
Ø Kayika (berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat dikatakan
kayika, manakala ia:
I. Tidak
menyiksa, menyakiti atau membunuh.
II. Tidak
berbuat curang, mencuri atau merampok.
III.
Tidak berzina
2) Catur Paramita
Catur Paramita adalah empat bentuk budi luhur, yaitu Maitri,
Karuna, Mudita dan Upeksa. Maitri artinya lemah lembut, yang merupakan bagian
budi luhur yang berusaha untuk kebahagiaan segala makhluk. Karuna adalah belas
kasian atau kasih sayang, yang merupakan bagian dari budi luhur, yang
menghendaki terhapusnya pendertiaan segala makhluk. Mudita artinya sifat dan
sikap menyenangkan orang lain. Upeksa artinya sifat dan sikap suka menghargai
orang lain. Catur Paramita ini adalah tuntunan susila yang membawa masunisa
kearah kemuliaan.
3) Panca Yama Bratha
Panca Yama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam
hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian
bathin. Panca Yama Bratha ini terdiri dari lima bagian yaitu Ahimsa artinya
tidak menyiksa dan membunuh makhluk lain dengan sewenang-wenang, Brahmacari
artinya tidak melakukan hubungan kelamin selama menuntut ilmu, dan berarti juga
pengendalian terhadap nafsu seks, Satya artinya benar, setia, jujur yang
menyebabkan senangnya orang lain. Awyawahara atau Awyawaharita artinya
melakukan usaha yang selalu bersumber kedamaian dan ketulusan, dan Asteya atau
Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda milik orang lain.
4) Panca Nyama Bratha
Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam
tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun
bagian-bagian dari Panca Nyama Bratha ini adalah Akrodha artinya tidak marah,
Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan
nasehat-nasehat guru, Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum, dan
Apramada artinya taat tanpa ketakaburan melakukan kewajiban dan mengamalkan
ajaran-ajaran suci.
5) Sad Paramita
Sad Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran.
Sad Paramita ini meliputi: Dana Paramita artinya memberi dana atau sedekah baik
berupa materiil maupun spirituil; Sila Paramita artinya berfikir, berkata,
berbuat yang baik, suci dan luhur; Ksanti Paramita artinya pikiran tenang,
tahan terhadap penghinaan dan segala penyebab penyakit, terhadap orang dengki
atau perbuatan tak benar dan kata-kata yang tidak baik; Wirya Paramita artinya
pikiran, kata-kata dan perbuatan yang teguh, tetap dan tidak berobah, tidak
mengeluh terhadap apa yang dihadapi. Jadi yang termasuk Wirya Paramita ini
adalah keteguhan pikiran (hati), kata-kata dan perbuatan untuk membela dan
melaksanakan kebenaran; Dhyana Paramita artinya niat mempersatukan pikiran
untuk menelaah dan mencari jawaban atas kebenaran. Juga berarti pemusatan
pikiran terutama kepada Hyang Widhi dan cita-cita luhur untuk keselamatan; Pradnya Paramita artinyaa kebijaksanaan dalam
menimbang-nimbang suatu kebenaran.
6) Catur Aiswarya
Catur Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan
hidup lahir dan batin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma,
Jnana, Wairagya dan Aiswawarya. Dharma adalah segala perbuatan yang selalu
didasari atas kebenaran; Jnana artinya pengetahuan atau kebijaksanaan lahir
batin yang berguna demi kehidupan seluruh umat manusia. Wairagya artinya tidak
ingin terhadap kemegahan duniawi, misalnya tidak berharap-harap menjadi
pemimpin, jadi hartawan, gila hormat dan sebagainya; Aiswarya artinya
kebahagiaan dan kesejahteraan yang didapatkan dengan cara (jalan) yang baik
atau halal sesuai dengan hukum atau ketentuan agama serta hukum yang berlaku di
dalam masyarakat dan negara
7) Asta Siddhi
Asta Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan
kepada manusia untuk mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir
batin. Asta Siddhi meliputi: Dana artinya senang melakukan amal dan derma;
Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (ketuhanan); Sabda artinya
dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar; Tarka artinya dapat
merasakan kebahagiaan dan ketntraman dalam semadhi; Adyatmika Dukha artinya
dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik; Adidewika Dukha
artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari
hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan, gila, dan sebagainya. Adi Boktika
artinya dapat mengatasi kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan
orang-orang sakti; dan Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara
yang telah mencapai kelepasan.
8) Nawa Sanga
Nawa Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha artinya setia terhadap
keluarga dan rumah tangga; Andrayuga artinya mahir dalam ilmu dan dharma; Guna
bhiksama artinya jujur terhadap harta majikan; Widagahaprasana artinya
mempunyai batin yang tenang dan sabar; Wirotasadarana artinya berani bertindak
berdasarkan hukum; Kratarajhita artinya mahir dalam ilmu pemerintahan;
Tiagaprassana artinya tidak pernah menolak perintah; Curalaksana artinya
bertindak cepat, tepat dan tangkas; dan Curapratyayana artinya perwira dalam
perang.
9) Dasa Yama Bratha
Dasa Yama Bratha adalah
sepuluh macam pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau Arimbhawa artinya tidak
mementingkan diri sendiri; Ksama artinya suka mengampuni dan dan tahan uji dalam kehidupan; Satya artinya setia kepada ucapan sehingga
menyenangkan setiap orang; Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyakiti makhluk
lain; Dama artinya menasehati diri sendiri; Arjawa artinya jujur dan
mempertahankan kebenaran; Priti artinya cinta kasih sayang terhadap sesama
mahluk; Prasada artinya berfikir dan berhati suci dan tanpa pamerih; Madurya
artinya ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun; dan Mardhawa artinya rendah
hati; tidak sombong dan berfikir halus.
10) Dasa Nyama Bratha
Dasa Nyama Bratha terdiri dari: Dhana artinya suka berderma,
beramal saleh tanpa pamerih; Ijya artinya pemujaan dan sujud kehadapan Hyang
Widhi dan leluhur; Tapa artinya melatih diri untuk daya tahan dari emosi yang
buruk agar dapat mencapai ketenangan batin; Dhyana artinya tekun memusatkan
pikiran terhadap Hyang Widhi; Upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu
birahi (seksual); Swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci
khususnya, juga pengetahuan umum; Bratha artinya taat akan sumpah atau janji;
Upawasa artinya berpuasa atau berpantang trhadap sesuatu makanan atau minuman
yang dilarang oleh agama; Mona artinya membatasi perkataan; dan Sanana artinya
tekun melakukan penyician diri pada tiap-tiap hari dengan cara mandi dan
sembahyang.
11) Dasa Dharma
Yang disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca artinya
murni rohani dan jasmani; Indriyanigraha artinya mengekang indriya atau nafsu;
Hrih artinya tahu dengan rasa malu; Widya artinya bersifat bijaksana; Satya
artinya jujur dan setia terhadap kebenaran; Akrodha artinya sabar atau
mengekang kemarahan; Drti artinya murni dalam bathin; Ksama artinya suka
mengampuni; Dama artinya kuat mengendalikan pikiran; dan Asteya artinya tidak
melakukan kecurangan.
12) Dasa Paramartha
Dasa Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat
dipakai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup
yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari: Tapa artinya
pengendalian diri lahir dan bathin; Bratha artinya mengekang hawa nafsu;
Samadhi artinya konsentrasi pikiran kepada Tuhan; Santa artinya selalu senang
dan jujur; Sanmata artinya tetap bercita-cita dan bertujuan terhadap kebaikan;
Karuna artinya kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup; Karuni artinya belas
kasihan terhadap tumbuh-tumbuhan, barang dan sebagainya; Upeksa artinya dapat
membedakan benar dan salah, baik dan buruk; Mudhita artinya selalu berusaha
untuk dapat menyenangkan hati oranglain; dan Maitri artinya suka mencari
persahabatan atas dasar saling hormat menghormati.
3. Pengertian Acubhakarma (perbuatan
tidak baik) beserta jenis-jenisnya
Acubhakarma adlah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu
menyimpang dengan Cubhakarma (perbuatan baik). Acubhakarma (perbuatan tidak
baik) ini, merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu segala bentuk perbuatan
yang selalu bertentangan dengan susila atau dharma dan selalu cenderung
mengarah kepada kejahatan. Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini
merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena
semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup
menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari
di dalam hidup ini adalah:
I. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor,
yaitu Kasmala ialah perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan,
pembicaraan yang dusta dan kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang
dan angkuh.
II. Catur
Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma
yang menjadi sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri
dari Brunaha (menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang),
Kaniya Cora (mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati
kakak), dan Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka
terdiri dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha
(membunuh anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari
Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk),
Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha
(membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara
perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat
suci).
III.
Panca Bahya Tusti
Adalah lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah
semata-mata, yaitu Aryana artinya senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa
menghitung baik buruk dan dosa yang ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi
harta dengan jalan segala macam upaya; Ksaya artinya takut akan berkurangnya
harta benda dan kesenangannya sehingga sifatnya seing menjadi kikir; Sangga
artinya doyan mencari kekasih dan melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa
artinya doyan membunuh dan menyakiti hati makhluk lain.
IV.
Panca Wiparyaya
Adalah lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa
disadari, sehingga akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya
selalu mengharap-harapkan mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu
mengharap-harapkan agar dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha
artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang
tersebut dalam tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin
mendapatkan kesenangan akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan
sesuatu yang telah hilang.
V. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia
itu sendiri, yaitu Kama artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat
loba dan serakah; Krodha artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat
mabuk dan kegila-gilaan; Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya
adalah sifat dengki dan irihati.
VI.
Sad Atatayi
Adalah enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar
milik orang lain; Wisada artinya meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan
ilmu hitam; Sastraghna artinya mengamuk (merampok); Dratikrama artinya
memperkosa kehormatan orang lain; Rajapisuna adalah suka memfitnah.
VII.
Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu: Surupa artinya gelap atau mabuk karena
ketampanan; Dhana artinya gelap atau mabuk karena kekayaan; Guna artinya gelap
atau mabuk karena kepandaian; Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan;
Yowana artinya gelap atau mabuk karena keremajaan; Kasuran artinya gelap atau
mabuk karena kemenangan; dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.
VIII.
Dasa Mala
Artinya adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini
terdiri dari Tandri adalah orang sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang
berputus asa; Leja adalah orang yang tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang
yang pemarah, congkak dan sombong; Metraya adalah orang yang pandai
berolok-olok supaya dapat mempengaruhi teman (seseorang); Megata adalah orang
yang bersifat lain di mulut dan lain di hati; Ragastri adalah orang yang
bermata keranjang; Kutila adalah orang penipu dan plintat-plintut; Bhaksa
Bhuwana adalah orang yang suka menyiksa dan menyakiti sesama makhluk; dan
Kimburu adalah orang pendengki dan iri hati.
CATUR MARGA, PANCA YADNYA
DAN AJARAN BUDDHA TENTANG BHAVANA
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Usup mardani: 1113032100072
A. Pengertian Catur Marga Yoga
Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur
berarti empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha. Jadi catur marga
adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan
Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur Marga juga
sering disebut dengan Catur Marga Yoga.
Sesungguhnya kata yoga, dapat juga berarti masuk atau menyatukan diri, sehingga
Catur Marga Yoga dapat pula diartikan empat jalan untuk menyatukan diri dengan
Tuhan untuk mencapai moksa. Keempat jalan ini memiliki nilai yang sama namun
menjadi sangat utama apabila didasari dengan kesungguhan hati dan Sradha yang
mantap. Keempat jalan itu adalah Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana
Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam
pustaka suci Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga
yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran
subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak
baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak berbuat akarma dan wikarma
perbuatan yang keliru.
Karma memiliki dua makna
yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma dalam arti tingkah perbuatan. Kedua,
tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam wujud yang abstrak dan
menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau
pratima berupa arca ataumantra. Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan
pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha Esa, ada dua pengetahuan yaitu jnana
(ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan itu). Keempat, Raja
Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan yoga atau meditasi (konsentrasi
pikiran) untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun
tujuannya adalah Sebagai jalan atau sarana untuk mempersatukan manusia dan
tuhan yang maha esa.[9]
B. Macam –macam Catur Marga Yoga
Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai
kesempurnaan, yaitu moksa, dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Catur Marga Yoga. Catur
marga yoga terdiri dari empat bagian yaitu bhakti marga yoga, jnana marga yoga,
karma marga yoga dan raja marga yoga.
1.
Bhakti Marga Yoga
Kata Bhakti berarti menyalurkan atau mencurahkan cinta yang tulus
dan luhur kepada Tuhan, kesetiaan kepadaNya, perhatian yang sungguh-sungguh
untuk memujanya. Kata Marga berarti jalan atau usaha, sehingga Bhakti Marga
Yoga adalah jalan pengabdian kepada Ida Sang Hyang Widhi melalui cinta kasih
yang luhur dan mulia. Untuk memupuk sradha harus adanya rasa bhakti dan kasih
sayang terhadap Tuhan, dalam ajaran Agama Hindu dikenal 2 bentuk bhakti yaitu
1)
Aphara
Bhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan
dengan berbagai permohonan. Dan permohonan itu wajar mengingat keterbatasan
pengetahuan kita. Namun, permohonan yang dimaksudkan itu wajar dan tidak
berlebihan
2)
Parabhakti,
merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan rasa
tulus iklas, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Penyerahan diri sepenuhnya kepadaNya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau
melakukan aktivitas, tetapi ia aktif dan dengan keyakinan bahwa bila bekerja
dengan baik dan tulus niscaya akan memperoleh pahala yang baik pula.
Dalam pustaka Hindu, diuraikan beberapa jenis bentuk bhakti yang
disebutkan “Bhavabhakti”, sebagai berikut:
1)
Santabhava
adalah sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan
bapaknya.
2)
Sakyabhava
adalah bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widhi, manifestasiNya, Istadewata
sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dan
pertolongan pada saat yang diperlukan
3)
Dasyabhava
adalah bhakti atau pelayanan kepada Tuhan seperti sikap seorang hamba kepada
majikannya.
4)
Vatsyabhava
adalah sikap seorang penyembah atau memandan Tuhan seperti anaknya sendiri.
5)
Kantabhava
adalah seorang penyembah atau bhakta seperti sikap seorang istri terhadap suami
tercinta.
6)
Madhuryabhava
adalah bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari seorang
bhakta kepada Tuhan.
Gejala-gejala dari adanya Bhakti Marga adalah:
a)
Kerinduan
untuk bertemu kepada yang dipujanya
b)
Keinginan
untuk berkorban
c)
Keingingan
untuk menggambarkan
d)
Melenyapkan
rasa takut
e)
Melahirkan
rasa seni
f)
Melahirkan
rasa terharu
g)
Melahirkan
mitologi
Seseorang yang
menjalani Bhakti Marga disebut Bhakta, sikapnya selalu merasa puas dalam
segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Sikapnya yang tenang dan
sabar membawanya pada keseimbangan batin yang sempurna, seorang Bhakta akan
selalu mengembangkan sifat Catur Paramitha yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan
Upeksa. Selain itu, seorang bhakta akan selalu membebaskan diri dari keangkuhan
(ahamkara) dan tidak ada ikatan
sama sekali terhadap apapun karena seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan
pikiran kepada Hyang Widhi.
2.
Karma Marga Yoga
Karma Marga Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai
kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan dan bekerja tanpa pamrih. Dalam
Bhagawadgita tentang Karma Yoga dinyatakan sebagai berikut: Tasmad asaktah
satatam karyam karma samcara, asakto hy acaran karma param apnoti purusah.
(Bhagawadgita III. 19)
Artinya: ’’Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai
kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja
yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama’’.
Pada hakikatnya seorang karma yoga selalu mendambakan pedoman rame
inggawe sepi ing pamrih. dengan menyerahkan keinginannya akan pahala yang
berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan dia akan
memancarkan sinar dari tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat
tempat hidupnya pun kana menjadi bahagia, sejahtera, ia akan mencapai kesucian
batin dan kebijaksanaan.
3.
Jnana Marga Yoga
Jnana artinya, kebijakan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari
urat kata Yuj artinya, menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya
mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari
ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.
Tiada ikatan yang lebih kuat daripada Maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh
daripada Yoga untuk membasmi ikatan-ikatan Maya itu. Untuk melepaskan
ikatan-ikatan kita harus mengarahkan segala pikiran kita dan memaksanya kepada
kebiasaan-kebiasaan suci. Akan tetapi, bila kita ingin member suatu bentuk
kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran harus menerimanya. Sebaiknya
bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala
pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya. Jadi proses
pertumbuhan merupakan hal yang mutlak, sebagai jalan tumbuhnya pikiran,
perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma, dan sikap batin (wikrama) sangat
diperlukan dimana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak berbuat
maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan
kualitas sebenarnya dari pikiran kita.
Ada tiga hal yang penting dalam hidup ini yaitu kebulatan pikiran,
pembatasan pada kehidupan sendiri, dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang
maupun pandangan yang kokoh, tentram, dan damai. Ketiga hal tersebut di atas
merupakan Dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan Abhyasa,yaitu
latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Kekuatan
pikiran kita lakukan saat kita berbuat apa saja, dan pikiran harus kita
pusatkan kepada-Nya. Dalam urusan-urusan keduniawian pemusatan ini mutlak
diperlukan. Hal ini bukan hanya diperlukan untuk sukses di dunia, tetapi juga
dibutuhkan untuk kemajuan spiritual atau batin. Usaha untuk menjernihkan
kegiatan kita sehari-hari ialah kehidupan rohani. Apapun yang kita laksanakan,
berhasil atau tidaknya tergantung kepada kekuatan pemusatan pemikiran kita
kepada-Nya. Inilah kelebihan Jnana Marga (jalan ilmu pengetahuan) dibandingkan
dengan marga-marga lainnya.
Dengan dikuasainya ilmu pengetahuan, manusia dapat bekerja lebih
efektif dan efisien, dibandingkan dengan mereka yang dungu dan sedikit
pengetahuannya, baik itu masalah pengetahuan duniawi ataupun pengetahuan
tentang agama, karena ilmu pengetahuan itulah yangakan menuntun manusia menuju
ke jalan yang benar untuk mencapai tujuan akhir. Maka dari itu, kejarlah ilmu
pengetahuan terlebih dahulu sebanyak dan seluas mungkin.
4.
Raja Marga Yoga
Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai
moksa, raja marga yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan
vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa,
brata, yoga dan semadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk
mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang lebih
positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan semadhi
adalah latihan untuk menyatukan atma dengan Brahman dengan melakukan meditasi
atau pemusatan pikiran.
Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para raja Yogin
yaitu melakukan Tapa, Brata, Yoga, dan Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu
latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu dengan petunjuk ajaran kitab suci.
Sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan
Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
a) Pengertian Panca Yadnya
Yadnya adalah korban
suci yang dilakukan secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Beryadnya merupakan
kewajiban bagi umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut ajaran agama
Hindu Yadnya ada lima, yang biasa
disebut Panca Yadnya artinya lima korban suci dengan tulus ikhlas.[10]
Adapun tujuannya, tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk
membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika
menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari
sloka dibawah ini:
“sahayajnah prajah srishtva, paro vacha pajapatih, Anema prasavish
dhvam, esha yostvisha kamaduk”
Artinya: Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa)
menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan
mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi) dari keinginanmu.[11]
b)
Macam-macam Yadnya.
1.
Dewa
Yadnya.
Ialah suatu
korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh
manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu
selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada
asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya
(bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di
tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci,
hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun
hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya
Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2.
Pitra
Yadnya.
lalah suatu
korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur
(pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan
upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang
disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian
dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah
leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan
mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati
serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal
tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah
berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.[12]
3.
Manusia
Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup
manusia. Di dalam
pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya
ialah:
a.
Upacara
selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
b.
Upacara
selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
c.
Upacara
selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton/ 210 hari).
d.
Upacara
perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/
Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan
spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi
kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di
dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata
cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang
sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah
termasuk Manusa Yadnya.
4.
Resi
Yadnya.
Adalah suatu
Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha
Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya
dapat diwujudkan dalam bentuk:
Penobatan calon sulinggih
menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
a.
Membangun
tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
b.
Menghaturkan/
memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
c.
Mentaati,
menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
d.
Membantu
pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina,
dan mengembangkan ajaran agama.[13]
5.
Bhuta
Yadnya.
Adalah suatu
korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk
rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala),
hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang
merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara
Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam
semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan
untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita
yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.[14]
A.
Pengertian Bhavana
Bhavana berarti
pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya.
Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah
samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yang
benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat
menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk
karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan
pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran
bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah
samadhi, maka yang dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.[15]
1.
Faedah
bhavana
Bhavana atau
meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang yang
melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari
praktek meditasi itu adalah :
a.
Bagi
orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari
ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan
b.
Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan
menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan
yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).
c.
Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau
persoalan yang tidak putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk
menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk
mengatasi persoalan-persoalan tersebut
d.
Bagi
orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk
mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu
e.
Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam
hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian
terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya
takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.
f.
Bagi
orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya
atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan
perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.
g.
Bagi
orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian
akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong dia utnuk
memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang
tidak ada gunanya.
h.
Bagi
orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan
menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi
serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama
i.
Bagi
seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan
dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien.
j.
Bagi
orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan
kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk
kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.
k.
Bagi
orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan
ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang
lebih mampu daripadanya.
l.
Bagi
seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini
dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia
untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa
ke tujuannya.
m.
Bagi
orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, meditasi
akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan
ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari
penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan
yang baru bagi dirinya
n.
Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan
menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi
kelemahan-kelemahannya.
o.
Bagi
orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang
bahayanya sifat iri hati itu.
p.
Bagi
orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk
belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.
q.
Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras
yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat
cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat
dirinya.
r.
Bagi
orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan
untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat
berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai
taulannya.
s.
Bagi
orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka
nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya
lagi.
t.
Bagi
orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih
tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala
sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam
persoalan-persoalan yang remeh.
Selanjutnya, dalam agama
Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala
penderitaan, untuk mencapai Nibbana.
Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari
latihan meditasi. Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam
pikiran sendiri.
2.
Cara
melaksanakan bhavana
Orang yang baru
belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi.
Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang
di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya
orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika
meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat,
baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di
tempat yang ramai.
Waktu untu melaksanakannya
dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi
hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam hari antara pukul 17.00
sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu
tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya
dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila
meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu.
Orang bebas
memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk
bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri,
dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi
setengah sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan,
maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala
harus tegak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan
bersandar. Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya
diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila
badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh
atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan,
disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju,
maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun
berbaring.
Sebelum
melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru
meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat
dicapai sukses dalam bermeditasi.
Pada saat
hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selanjutnya,
laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah
dipilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini
biasa, karena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya
orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran
itu lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan
pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik,
maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh.[16]
C. Macam-macam bhavana
1)
SAMATHA
BHAVANA
a.
Aharepatikulasanna
Merupakan perenungan terhadap makanan yang menjijikkan
b.
Catudhatuvavatthana
Yaitu analisa
terhadap empat unsur yang ada di dalam badan jasmani (patavidhatu, apodhatu,
tejodhatu, vayodhatu)
c.
Empat
apamañña
Keadaan yang tidak terbatas: Metta, Karuna, Mudita, Upekkha
d.
Empat
arupa
Perenungan tanpa bentuk atau materi
a)
Akasanancayatana,
obyek ruangan tanpa batas.
b)
Viññanancayatana,
obyek kesadaran tanpa batas
c)
Akincaññayatana,
obek kekosongan
d)
Nevasaññanasannayatana,
obyek pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
e.
Sepuluh
kasina
Perwujudan benda, yaitu :
a)
apathavi
kasina (wujud tanah)
b)
Apo
Kasina (wujud air)
c)
Tejo
kasina (wujud api)
d)
Vayo kasina (wujud udara)
e)
Nila kasina (wujud warna biru)
f)
Pita
kasina (wujud warna kuning)
g)
Lohita kasina (wujud warna merah)
h)
Odata
kasina (wujud warna putih)
i)
Aloka
kasina (wujud cahaya)
j)
Akasa
kasina (wujud ruang terbatas)
f.
Sepuluh
asubha
Perwujudan mayat yang menjijikkan
g.
Uddhumataka
mayat yang melembung/membengkak
h.
Vinilaka
mayat dengan warna kebiru-biruan
i.
Vipubbaka
mayat bernanah
j.
Vicchiddaka
mayat terbelah di tengah
k.
Vikkhayitaka
mayat dimakan binatang
l.
Vikkhittaka
mayat hancur lebur
m.
Hatavikkhittaka
mayat yang busuk & hancur
n.
Lohitaka
mayat yang berdarah
o.
Puluvaka
mayat yang dikerumuni belatung
p.
Attikha
perwujudan tengkorak
q.
Sepuluh
Anussati
a)
Buddhanussati,
perenungan tehadap sifat-sifat Sang Buddha bahwa beliau telah terbebas dari
lobha, dosa dan moha.
b)
Dhammanussati, perenungan terhadap Sang Dhamma
yang tidak terkena lobha, dosa dan moha
c)
Sanghanussati,
perenungan terhadap sangha yang terbebas dari Lobha, dosa dan moha.
d)
Silanussati,
perenungan terhadap sila yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
e)
Caganussati,
perenungan terhadap kebajikan yang telah dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari.
f)
Devatanussati,
perenungan terhadap para dewa
g)
Marananussati,
perenungan terhadap kematian yang akan dialami semua mahluk.
h)
Kayagatassati,
perenungan terhadap kekotoran badan
jasmani.
i)
Anapanassati,
perenungan terhadap masuk keluarnya napas.
j)
Upasamanussati,
perenungan terhadap keadaan nibbanā.[17]
2)
VISSANA
BHAVANA.
Vipasasana
berarti melihat benda-benda dalam keadaan sebenarnya. Kontenplasi tentang tiga
hal yang karakteristik:
a)
anicca
berarti tidak adanya kekakalan kelanggengan
b)
Dukkha
berarti penderitaan
c)
Anatta
berarti tidak adanya jiwa
Vipassana
membawa kita kepada tingkatan arahat. dengan konsentrasi kita dapat
membangkitkan enam tingkatan kegaiban
.
a.
Mata
dewa yang dapat menjauh
b.
Pendengaran dewa yang dapat mendengar sesuatu
yang lain orang tidak dapat mendengarnya.
c.
dapat
melihat dan mengetahui kehidupan-kehidupan yang lampau.
d.
Dapat
membaca pikiran-pikiran orang lain
e.
Mempunyai
kekuatan-kekuatan psichis (gaib)
f.
Dapat mempunyai pengetahuan yang luar biasa
dan bijaksana mengenai penghancuran dan nafsu-nafsu dan tercapainya tingkat
arahat.
Untuk melaksanakan pelajaran dari sang Buddha, bagi tiap-tiap orang
adalah yang terpenting sekali memelihara dan mengembangkan dalam dirinya
tentang kebijaksanaan dari Sila, Samadhi, dan Panna. Orang seharusnya tidak
ragu-ragu lagi untuk memiliki tiga macam kebijaksaan itu.
Sila adalah suatu pengekangan diri, atau tali kendali diri, untuk
orang-orang biasa adalah Panca-Sila sebagai ukuran yang minimum. untuk para
Bhikksu ialah peraturan dari Patimokha-Sil. orang-orang yang telah taat
menjalankan Sila itu akan dilahirkan kembali dalam kehidupan berbahagia sebagai
manusia atau sebagai dewa. Tetapi bentuk yang biasa dari Lokiya-Sila itu, tidak
dapat menjamin seseorang terhadap kemunduran atau terhadap jatuh kembali dalam keadaan
yang lebih rendah, atau kedalam kehidupan yang lebih buruk.
Jika seseorang telah dapat menjalankan Sila ini dengan sempurna,
maka ia akan terjamin, dan tidak dapat jatuh lagi kedalam keadaan yang lebih
rendah, dan ia akan selalu terpimpin kedalam kehidupan yang lebih berbahagia,
lahir sebagai manusia atau sebagai dewa. Maka itu tiap-tiap orang harus
menetapkan suatu tujuan didalam kewajibannya untuk menjalankan Lokuttara-Sila
itu.
Tidaklah cukup kalau mengerjakan Sila saja: adalah perlu juga
menjalankan Samadhi. Samadhi adalah pemusatan dan ketenangan dari pikiran.
Pikiran yang biasa atau pikiran yang tidak terkendalikan, adalah keadaan
berkelana ketempat-tempat lain; tidak dapat dikontrol terus, ia selalu
mengikuti bermacam-macam cita-cita, bentuk-bentuk pikiran, bayangan-bayangan
dan lain-lainya. Untuk mencegah berkelananya pikiran itu, maka pikiran tersebut
harus ditujukan kepada objek Samadhi yang telah ditentukan.
Samadhi terdapat dua macam, yaitu:
1)
Lokiya
Samadhi
2)
Lokuttara
Samadhi
kedua-duanya ini adalah praktek Samatha Bhavana, yaitu: Anapana,
Mettana, Kasina, dan lain-lainnya, yang dapat membawa kita kedalam perkembangan
dari keadaan Lokiya Yhana, seperti empat Rupa Yhana dan empat Arupa yhana, yang
menyebabkan orang dapat dilahirkan dialam Brahma.
Kehidupan dalam Brahman itu berlangsung sangat lama, ada yang
lamanya satu kalpa, dua, empat, delapan dan seterusnya sampai batasnya delapan
puluh empat ribu maha kalpa, menurut segala kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi. Tetapi kehidupan seorang Brahma itu juga menemui kematian, dan akan
lahir kembali sebagai manusia atau dewa. Kalauia menjalankan kehidupan yang
becik sepanjang masa, maka ia akan mendapat kebahagiaan didalam kehidupan yang
lebih tinggi. tetapi, jika ia belum bebas dari kekotoran (kilesa), maka
sewaktu-waktu ia dapat terjerumus dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang
cemar (rendah).
Lokiya Samadhi masih belum sempurna. Karena itu, sebaiknya kita
menjalankan Lokuttara Samadhi, yang tidak lain dari Mangga Samadhi dan Phala
Sanadhu, Untuk dapat menjalankan Samadhi ini penting sekali kita harus
memelihara Panna, yaitu Kebijaksanaan.
maka terdapatlah dua macam Panna, yaitu: Panna dan Lokuttara Panna.
Pada jaman sekarang, pengetahuan-pengetahuan dari kesusteraan, kesenian, ilmu
pengetahuan atau kemajuan keduniaan seperti sekarang, biasanya doanggap sebagai
Panna. Tetapi bentuk Panna ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Bhavana
(perkembangan hidup). Pun tidak dapat dianggap sebagai suatu kebahagiaan yang
sejati, sebab semua alat senjata yang diapakai untuk menghancurkan manusia,
adalah berdasarkan inspirasi dari ilu pengetahuan duniawi ini.
Arti dari Lokiya Panna sebenarnya, kalu ditinjau dari segala sudut
lainnya, hanyalah kebahagian, dan tidak ada penderitaan dalam bentuk apapun
juga. Ilmu pengetahuan didalam organisasi yang baik dan bebas, yang dijalankan
dengan tidak menimbulkan penderitaan, yaitu belajar untuk mencapai pengetahuan
dari kebenaran atau menyelidiki naskah-naskah, dan mempelajari tiga tingkatan
pengetahuan didalam Vipassana Bhavana, yaitu:
a.
Satu-maya-panna,
ialah pengetahuan yang berdasarkan atas belajar.
b.
Cinta-maya-panna,
ialah pengetahuan yang berdasarkan atas berfikirn dan
c.
Bhavana-maya-panna, ialah pengetahuan yang
berdasarkan atas perkembangan batin adalah Lokiya Panna. Pahala dari memiliki
Lokiyana Panna, ialah seseorang akan mendapatkan kebahagiaan didalam kehidupan
yang lebih tinggi, tetapi tidak dapat mencegah resiko-resiko dalam kelahiran
kembali dineraka atau dialam kehidupan yang lebih rendah dan sengsara.[18]
3). METTA BHAVANA
Metta atau cinta kasih
merupakan sifat bajik yang tidak hanya dapat membawa kebahagiaan bagi seseorang
yang memancarkan sifat cinta kasih, tetapi sifat cinta kasih juga akan
terpancar untuk semua makhluk dimanapun mereka berada. Karena kekuatan metta
akan memancar kesegala arah dan tak terbatas pada makhluk-makhluk tertentu,
melainkan pada semua makhluk hidup yang ada disegenap alam kehidupan. Sedangkan
bhavana dalam hal ini berari mengembangkan. Dengan demikian meditasi Metta
Bhavana merupakan mediasi yang ditujukan untuk menggembangan sifat-sifat bajik
dalam diri seseorang kepada semua makhluk melalui perenungan “semoga semua
makhluk hidup berbahagia, penuh kedamaian, bebas dari kebencian,
kesukaran serta bebas penderitaan ”.
Dengan mengembangan
sifat-sifat bajik yang ada dalam diri meditator melalui praktik meditasi metta
bhavana, dalam diri mereka akan diliputi oleh kebahagiaan serta kedamaian.
Kekuatan cinta kasih akan terpancar keluar tubuh melalui perbuatan-perbuatan
mereka yang penuh perhatian, kehati-hatian serta tidak tergesa-gesa dalam
pengambilan keputusan. Sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan penuh
perenungan guna mengurangi efek buruk yang dapat merugikan setiap makhluk hidup
.
Dalam buku panduan
meditasi metta bhavana yang dikarang oleh Sayadow U Janaka sangat membantu
sebagai pedoman untuk melaksanakan meditasi metta bhavana. Tetapi kurang
menekanan cara pelaksanaan meditasi yang digunakan sehingga dikawatirkan akan
menimbulkan kesalah pahaman bagi pemula.[19]
Daftar Pustaka
Ali,
Mukti, Agama-Agama Dunia,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga PRESS, 1988).
Diputrha, Okta, Meditasi
I, ( Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004).
Diputra, Okta, Meditasi
II, (Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004).
Disbintald,
Binroh, Ajaran Pokok Hindu Dharma, (Jakarta: Dinas Percetakan Raya,
2004)
Mukti,
Krishnanda Wijaya, Wacana Buddha-Dharma,
(Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003)
Rai,
Tjok Partadjaja dan Asli, Luh, Pendidikan Agama Hindu, (Singaraja:
UNDIKSHA, 2009).
http://bhuanapuja.blogspot.com/2014/01/panca-yadnya.html
di akses pada 22 April 2015
http://click-gen.blogspot.com/2011/12/pengertian-tujuan-serta-fungsi-dan.html
di akses pada 22 April 2015
http://dharmajayantipande.blogspot.com/2011/10/rsi-yadnya.html
di akses pada 22 April 2015
http://andisetiyono.blogspot.com/2013/02/metta-bhavana-sebagai-pembentuk-watak.html
di akses pada 22 April 2015
http://buddhaschool.blogspot.com/2011/04/pembagian-bhavanameditasi-meditasi.htm di akses pada 22 April 2015
Upacara kelahiran, Perkawinan dan
kematian dalam agama Hindu
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
A.
Upacara
bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi
masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan
setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk
membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang
berguna untuk dalam masyarakat nanti.
a.
Tata
cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang
mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa
benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu
dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan
kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada
pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang
suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang
bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu
suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam
kandungan selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini
disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra MatrpujaNadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata
dilakukan untuk keselamatan ibu.[1]
b.
Kelahiran
bayi
Upacara Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan
ketika sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah
terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk
membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada
disekitarnya.
c.
Tata
cara upacara
Jatakarma
Pusar si bayi dibungkus dalam secarik kain lalu dimasukkan ke dalam
sebuah kulit ketupat kecil,disertai dengan sejenis rempah-rempah yang
khasiatnya menghangatkan,seperti cengkeh.Lalu ketupat kecil ini digantung
menghadap arah kaki tempat tidur si bayi
.Terdapat tiga macam tujuan dari upacara ini,yaitu
Medha Jhana,yaitu diadakan upacara ini untuk menumbuhkan
intelektual atau kepintaran anak.Pada saat upacar berlangsung,sang ayah
memberikan satu sendok kecil madu atau minyak dari susu kepada bayinya,di
telinga bayi itu sang ayah mengucapkan mantra Gayatri.Tujuan dari semua
ini adalah agar bayi tumbuh cerdas ,rupa yang bagus,dan kesehatan yang baik
karena unsure madu dan minyak susu itu merupakan sumber kecerdasan,wajah dan
kesehatan.
Ayusya,yaitu upacara yang bertujukan adanya umur panjang bagi si
bayi tersebut.Pada telinga kanannya,sang ayah mengucapkan mantra yang berbunyi
:”Api adalah berumur panjang,melalui dewa api memohon kepada tuhan agar anak
itu diberikan umur panjang,air adalah berumur panjang,melalui dewa air memohon
kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,laut adalah umur
panjang…..”dan seterusnya.
Kekuatan juga dimohonkan untuk pengucapan mantra-mantra
kehadapan tuhan,antara lain: Anggad anggad sambhaswasi hrdayadaadhhijase,atma
wai putranawabhasi sajiwa saradah satam.Artinya :jadikanlah sekuat
batu,jadikanlah sekuat baja,jadikanlah sekuat emas anak kami ya Tuhan,semoga
menganugrahi kehidupan seratus tahun.[2]
d.
Perbedaan-perbedaan
Terdapat beberapa perbedaan dalam upacara Jatakarma dalam umat
Hindu di India dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India sehari sebelum
melahirkan,sang ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah disediakan khusus
untuk proses kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa untuk mengusir
kekuatan negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife yang akan
masuk.Pada saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu kamar
dibuka tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga digunakan di
Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula diucapkan doa-doa
untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan negative.Pada tradisi umat
Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun upacara mengenai ari-ari.
Lain pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan umat Hindu di
Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat itu juga bayi
itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula dibuatkan sebuah
tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang Hyang Kumara ini
ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta pelindung anank-anak yang
seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen untuk Kumara ini berisi nasi putih
dan nasi kuning yang berisikan telur dadar,sepotong kecil pisang
mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang direbus),serta minyak wangi dan
bunga-bungaan yang harum,terutama yang berwarna putih dan kuning.Dalam
kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah seorang dewa yamg tidak mau mempunyai
keturunan sehinnga tetap sebagai teap menjadi anak-anak,tetap suci dan
lugu,Jika seorang bayi tertawa kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main
dengan penjaganya yaitu Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini termasuk
masalah penting dalam penanganannya.
e.
Upacara
setelah kelahiran bayi
Upacara Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian
nama terhadap Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak
yang dilaksanakan ketika bayi berumur 12 hari.Tujuan dari upacara
ini adalah untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan
memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan
badan halus bayi itu dari kotoran yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu
Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula
pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
f.
Tata
cara upacara Bajong Colong
lilin dinyalakan dan
potongan lidi berisi kapas dibasahi oleh minyak yang dsulut api atau di Bali
disebut dengan Linting.Jumlah Linting yang digunakan adalah
jumlah sesuai” urip”kelahiran bayi tersebut.Pada
setiap Linting digantungkan daun rontal atau kertas yang telah
disiapkan nama-nama yang telah disiapkan oleh orangtuanya,hal demikian dilakukan
pada zaman dahulu ,sekarang pemberian ataupun penambahan atau penggantian nama
tidak lagi menggunakan ketentuan ini lagi,sekarang begitu bayi lahir telah
disiapkan namanya.
g.
Upacara
kambuhan
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya
terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42
hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor
sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci.
h.
Upacara
Tigang Sasih
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur tiga bulan,di India
upacara ini disebut Niskarmana,yang berarti dalam bahasa inggris adalah first
ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara
ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi
dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
i.
Tata
cara upacara Tigang Sasih
Di India dalam upacara ini,di sekitar pekarangan rumah dibuatkan
bentuk segi empat yang di dalamnya disebarkan beras oleh sang ibu bayi
tersebut, Di atas tebaran beras itu dibuatkan gambaran swastika. Dari
tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi. Sebelum ditebari
beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur tanah liat,lalu
sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke
matahari.Bayi itu dipakaikan pakaian yang layak serta indah kemudian diajak ke
tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).Pemujaan di tempat itu diantar oleh
pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik,lalu sang pendeta mengucapkan
mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan
penjuru angin serta dewa mataharidewa bulan dan dewa angkasa.Ayah sang bayi
tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar.Setelah
upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang
terus memangkunya,serta diberikan hadiah-hadiah .
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri
atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap
penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
j.
Upacara
weton
Upacara ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,tidak lain tujuan
dari upacara ini adalah memohon kepada tuhan yang maha esa untuk keselamatan
bayi tersebut,tetapi bukan hanya bayi yang dimintai keselamatannya saja tetapi
juga untuk semua hewan dan tumbuhan agar dapat subur dan panjang umurnya.
B.
Perkawinan
dalam agama Hindu
1)
Pengertian
perkawinan
Adalah merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan
melaksungkan pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan
kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di
dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat
religius(sakral)dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi
peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau
menitis kembali ke dunia.
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
Batiniah,yaitu:
1)
pernikahan
yang berdasarkan cinta sama cinta
2)
mempelai
harus agama yang sama
3)
lahiriah
4)
faktor
usia
5)
bibit,bebet,bobot
6)
tidak
terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain
di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk
perkawinan yang diungkapkandalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana,
melegandang.
Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap
sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak
laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah
mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
1.
Pedewasaan (mencari
hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari
baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau seorang yang sudah
biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
2.
Penjemputan
calon pengantin wanita
Pada saat
penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti
oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan
adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin
wanita serta calon pengantinnya.
3.
Ngetok
lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria
mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon
pengantin wanita.[7]
4.
Cara
meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi
canang,ditancapkan sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi
menghadap ke jalan atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan
tetabuhan dangan beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai
spiritual dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
5.
Upacara
perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu
upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang
timbul),agar kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala
hita atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
Upacara pekala-kalaan
Ø Ngerorod(merangkat)
Adalah suatu sistem orangtua berdasarkan cinta sama cinta
namun tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua
pihak orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan
jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem
perkawinan ini tetap dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.[8]
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Ø Pengelukuan(pengandeg)
Setelah dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin
pria,maka dari pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke
rumah calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah
menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan calon
pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan kawin dengan
pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai surat pernyataan dari
si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan seorang pria berdasarkan cinta sama
cinta.
Ø Penetes
Yaitu prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama
kelihan adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada
salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
Ø Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini
yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
Pelaksanaan upacara mekala-kalan
Upacara mejaya-jaya
Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di
atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita
Ø Nyentana(nyeburin)
Menurut arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan
perkawinan”ambil anak” yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi
anggota pihak keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula
dengan sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut
diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak
semata wayang dan tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan
perkawinan secara biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi
yang meneruskan ketueunan keluarga tersebut
Adalah perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara
kedua pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial, yaitu
bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.
Ø Tata cara pelaksanaan :
Mengenai tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta
cara membadik,jika membadik calon pengantin pria yang meminag calon
pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di pinang
oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di laksanakan oleh
keluarga pengantin wanita.
Ø Bentuk-bentuk perkawinan
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki
beberapa bentuk perkawinan menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra
Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:
Brahma
Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih
dahulu dihias.
Daiwa
Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan
sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.
Arsa
Wiwaha
Seorang ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin
dari calon pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan
dharma.
Prajapati
Wiwaha
Mendapatkan calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua
pihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut
:”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu pengantin wanita memberikan penghormatan
kepada calon suaminya.
Asura
Wiwaha
Jika pengantin pria menerima seorang perempuan berdasarkan
cinta sama cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita
berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.
Gandarwa
Wiwaha
Pertemuan antara laki-laki dan wanita dan timbul
nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan
Raksasa
Wiwaha
Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai
menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak rumah
gadis tersebut
Paisaca
Wiwaha
jika laki-laki mencuri-curi,memperkosa wanita yang sedang
tidur,sedang mabuk atu bingun
Dengan Demikian bentuk perawinan yang masih dilaksanakan oleh umat
Hindu khususnya di Bali adalah dari bentuk perkawinan Brahma
Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha.Pustaka Manawa Dharmasastra
39,menyebutkan sebagai berikut :
BRAHMADISU WIWAHESU
CATURSWEWANUPURWACAH,
BRAHMWARCASWINAH
JAYANTE CISTASAMMATAH.
Maksudnya :
Dari sudut macam perkawinan yang diiuraikan berturut-turut di
mulai dari cara Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha akan lahir putra yang
gemilang di dalam pengetahuan weda dan dimuliakan oleh orang-orang budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra,
2002
Sudharta, Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma
Naradha, 1993.
I nyoman Arhtayasa,dkk. Surabaya : Paramitha, 1998
C.
Upacara
Kematian dalam Agama Hindu
Ø Ngaben
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar
kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar-
yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Jadi tanpa
mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben. Anggapan keliru ini kemudian
mentradisi dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal
ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Dari beberapa penelusuran lontar di Bali, ngaben ternyata tidak
selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana antara
lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara
ngaben yang tergolong besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
Pengertian
Pengertian dasar ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara
pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul etimologi itu kurang tepat. Sebab
ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya
berasal dari kata beya artinya bekal atau biaya. Ngaben atau meyanin dalam
istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun
belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara
(Austronesia), mengingat upacara jenis ini juga kita jumpai pada suku dayak di
Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan pada suku dayak itu disebut “tibal”
dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger itu dikenal dengan nama
entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok dibali yaitu tirtha
pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang Atma denga
badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga berkonotasi halus, ngaben disebut juga
sebagai palebon yag berasal dari kata prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti
sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat untau memproses menjadi tanah
disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut sebagai tunon (membakar), kata
lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana” (durga), dewi durga yang bersthana
di tunon ini.
Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan
unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya yang dalam agama hindu
tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang dikenal dengan istilah bhuwana
agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit (unsure-unsur didalam tubuh)
yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta yakni ; pertiwi, apah, teja,
bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh
roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya segabai benda rongsokan ibarat
sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur dengan alam semesta. Bahkan
dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam
unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma meninggalkan badan
kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik, agar
sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya
terakhir di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah,
proses penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama,
sementara sang Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya
istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben
juga bukan hanya demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli
waris (pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap
orang berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang (
hormon laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya
kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum
melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak
menerima warisan.
Tugas pretisantana adalah sampai melinggihkan dan memujanya
disanggah kamulan. Hal ini berarti bhawa
pelaksanaan Pitra Yadnya leluhurnya terkait dengan hukum
pewarisan, seseorang pretisantana akan kehilangan hak warisnya bila ia ninggal
kedaton dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben yaitu
nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi jalannya
upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya menyangkut waktu
yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan
ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi ditentukan oleh keadaan
social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa yang
disebut pancaYadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban
untuk para leluhur. Seperti halnya setiapYadnya (pengorbana suci),
seseorang diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah
menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat
hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam lontar
Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi
kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya ;
Pitra Yadnya
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan Yadnya “korban
suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan
dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang
merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang
tergolong Pitra Yadnya itu
- Pemeliharaan
ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan
serta memuaskan batinnya, yang dapat ditempuh dengan berbagai macam
cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu
untuk segala tindakan yang akan diambil.
- Penyelenggaraan
upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses
penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
- Membersihkan
sawanya (mresihin)
- Mendem
atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
- Ngaben/atiwa-tiwa
- Mroras/
mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan
upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara
penyucian rohnya “ Atmawedhana”. Atma yang telah disucikan di
sebut DewaPitra “Pitra yang telah mencapa tingkatan Dewa
“SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya,
melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan
atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam
bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan
pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma
ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang
diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci
sebagai symbol sawa.
Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya
tidak ada (tasn kneng hinulatan)
Sawa
prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan
upacara penguburan
Sawa
wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan
upacara penguburan (ngurug)
Asti
wedhana
Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.
Arti simbolik upakara
1. Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara,
tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana
upakara yang berfungsi sebagaipembersihan.
2. Sarana upakara
- Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk
mependhem.
- Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang
diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin
sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben,
dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan
bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas
mependhem”.
- Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu
yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai
tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
- Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang
telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar,
kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
- Bale
pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan
ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan
lainnya.
- Tatukon
pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang
dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
- Ganjaran
serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong
sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih,
ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table
sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana
dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
- Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan
kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti
masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit
tubuhnya.
- Karab
sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya
sebagai kerudung.
- Angkep
rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
- Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma
dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
- Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan
tali ketikung (perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari
penjalin atau bambu.
- Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau
dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan
sawa) yang masuk kedalam tanah.
- Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang
salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka,
tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
- Tumpang
salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan
samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
- Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
- Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada
dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
- Sawa
karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
- Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
- Adegan
(pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
- Angenan
Symbol jantung manusia
- Sok
bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
- Lis
pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan
isinya diletakkan pada kaki sawa.
- Kesi-kesi
/ jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di
sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong,
kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
- Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar
sebagai symbol perginya atma
- Tah
mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian
atma.
- Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk
mengiringi kepergian atma
- Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
- Sanggah
cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam
upakara bebantenan
- Kaki
patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama
bang
- Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
- Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya
roh dalam perjalanan
- Pemanjangan
- Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
- Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir
jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
- Bale
gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai
lantainya
Ø Upacara
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu
sawa prateka dan sawa wedhana. Adapun tahap-tahapnya parteka ;
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan,
narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk
mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara
adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara
kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.
Ø Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi
dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang
betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha
terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari
timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam
pembagiannya;
Ø Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali
menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang
umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
Ø Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating
dari utara yang menunjukan sasih kapat (terbukanya semua alam dewa saat
yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang
menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
Ø Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih
ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan
bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan
manusa madya).
Ngaben
sarat relevansinya masa kini
Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat
dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang
cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya.
Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan
dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan
bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu
factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang
pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
Kondisi
umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah
sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman
terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari.
Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang
sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka
harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau
golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif
(ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).
Masa sekarang
Telah merasuknya masa transisi pada industrialism, maka
sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun
sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat
bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka
pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka
pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat,
dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis
apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Landasan filosofis
Telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada
landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha
antara lain :
Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya
dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan
merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu
kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira
(budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja
yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma
akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban
atma.
Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan
upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang
menjadi tujuan utama umat hindu.
Daftar Pustaka
Drs. Wikarman, I nyoman Singgin, Ngaben . Surabaya:
Paramita. 2002
Kaler , I Gusti Ketut, Ngaben. Yayasan Dharma
Naradha 1993
Ali , I Nyoman Gustav, Menggugah Bali .
Upacara kelahiran, Perkawinan dan
kematian dalam agama Budha
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika
seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar
dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak
ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang
kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata
(Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah
pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu
menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam
ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat
ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan
memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang
diberikan.
Lahir Setelah kelahiran anak, orang
tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan,
sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah,
praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu,
misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu
bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan,
dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari
teks-teks suci.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Menurut "Upacara Ritual Buddhis
dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik
dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler
untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama
besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru,
ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan
budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme
Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan
bayi-ritual.
B.
Perkawinan dan upacara perkawinan
Perkawinan adalah
perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka
tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan
tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi
suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas perkawinan
“Sebagai warga negara
Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum
Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan
perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di dalam Undang-undang
Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat
perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu
apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila
isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di dalam pasal 10 ayat
4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan bahwa : Izin untuk
beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat apabila : a.
Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan.
Walaupun ketentuan ini
ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan bahwa izin tidak
diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh
pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai Negeri Sipil yang
memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan yang mengikat dan
untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun di dalam agama
Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan
berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu
pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang
laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi),
maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas
monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu dipertimbangkan,
bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat
melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia
mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri
atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang
telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih
menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau
isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk
menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
UPACARA PERKAWINAN
I. PERSIAPAN UPACARA
A. Agar dapat
dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon
mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha
(misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan
untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
- Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
- Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
- Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
- Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
- Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B. Setelah semua syarat
dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang
perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
C. Dalam hal perkawinan
dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
II PELAKSANAAN UPACARA
A. TEMPAT UPACARA
Upacara perkawinan
menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
B. PERLENGKAPAN ATAU
PERALATAN UPACARA
Persiapan peralatan
upacara :
- Altar dimana terdapat Buddharupang.
- Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
- Tempat dupa
- Dupa wangi 9 batang
- Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
- Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
- Cincin kawin
- Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
- Pita kuning sepanjang 100 cm
- Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
- Surat ikrar perkawinan
- Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C. PELAKSANAAN UPACARA
PERKAWINAN
- Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
- Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
- Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
- Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
- Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
- Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
- Pernyataan ikrar perkawinan**)
- Pemasangan cincin kawin.
- Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
- Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
- Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
- Wejangan oleh pandita.
- Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
- Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO
BHAGAVA
[A-ra-hang
Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM
ABHIVADEMI
[Bud-dhang
Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang
Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan
Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO BHAGAVATA
DHAMMO
[Swaak-khaa-to
Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang
Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna
dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan
Dhamma)
SUPATIPANNO BHAGAVATO
SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no
Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang
Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan
Sangha)
**)
Sebelum menyatakan
ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO TASSA BHAGAVATO
ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa
Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali) (Terpujilah
Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan :
Menurut UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan
Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara
agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat
perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila upacara
perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat
diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh
Gubernur setempat.
Apabila upacara
perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai
Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan
mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa
upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat
tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan
Sipil untuk dicatatkan.
UPACARA KEMTIAN DLAM AGAMA BUDHA
1.
Upacara
Upacara adalah rangkain
tindakan terorganisir dengan tatanan atau aturan tertentu yang mengedepankan
berbagai tanda atau symbol –simbol kebesaran dan menggunakan cara-cara yang
ekspresif dari hubungan social, terkait dengan suatu tujuan atau peristiwa yang
penting. Kita mengenal bermacam-macam Upacara, seperti upacara kenegaraan
termasuk upacara militer dan upacara bendera,upacara adat dan agama.[1]
Upacara dan ritual
merupakan suatu ornament atau dekorasi untuk memperindah suatu agama guna
menarik masyarakat.[2]
2.
Kematian dalam agama Budha
Bila kematian tiba,
Taj ada yang kubawa
serta,
Harta, kemewahan bukan
lagi milikku,
Kedudukan, nama dan
kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi
perjalananku ?
Lenyap sudah tali
ikatan
Teman, sahabat,
keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan
……
Kini ku teringat,
48 janji besar
Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong
semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga
sukhavati,
Kepada-Nya aku
berlindung,
Sepenuh hati ku berseru
:
Namo AmithabhaBuddha. (berulang-ulang)[3]
Agama Buddha
mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah
satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal
lahir yang baru.
Bagi mereka yang
sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan
ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan
ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan;
minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan
kemantapannya di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang
saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri
dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha.
Menurut agama
buddhapun,Hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan mati,bagaikan
siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula berlanjut
pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang
lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani lingkaran
tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan
bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat
dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah
ahliwaris dalam perbuatannya sendiri” (A.V, 291).
Karma juga membagi para
makhluk menjadi berbeda, yang dikatakan sebagai hina dan mulia. Doktrin karma
menjelaskan kenapa ada manusia yang pendek usia, ada yang panjang usia; yang
sering sakit dan jarang sakit; yang buruk rupa dan cantik rupawan; yang sedikit
rezeki dan banyak rezeki; yang miskin dan kaya raya; yang memiliki keluarga
kecil dan keluarga besar ; yang dungu dan pandai bijaksana (M. III, 202-203).
Ketika ada yang terlahir catat, karma juga alasannya. Ada daya tarik si
anak dengan karma orang tuanya. Adanya karma individual dan adanya karma
kolektif.
Sedangakan gagasan
penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin india kuno
yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi atau
transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.[4]
A.
Proses penghancuran Badan jasmani dan Rohani.
Terurainya 4 Element
besar dimulai dari unsur tanah, unsure tanah akan turun ke unsure air, yang
menyebabkan badan terasa sesak, seakan-akan menanggung beban yang sangat bera,
seluruh otot terasa kaku dank ram, pada saat ini dianjurkan agar sanak sodara
jangan menyentuh atau memijatnya, karna akan menambah penderitaan jasmaninya.
Setelah itu unsure air akan turun ke unsure api, yang menyebabkan seluruh tubuh
bagaikan diselimut oleh hawa dingin yang amat sangat, beku sakit bukan
kepalang. Dan dilanjut dengan turunnya unsure api ke unsure angin, rasa sakit
bertambah hebat, seluruh badan terasa panas bagaikan terbakar. Element terakhir
yang terulang adalah unsure angin, badan rasanya seperti ditutup oleh angin
kencang, tercerrai berai dan hancur lebur. Saat ini 4 element besar telah
berpisah, badan jasmani tak dapat dipertahankan lagi,inilah yang disebut mati
dalam ilmu kedokteran. Tetapi menurut teoori Buddhis, indra ke 8
(alajnavijnana) dari orang tersebut belum pergi, kananya blom boleh disentuh,
dia masih dapat merasa sakit, bahkan ada yang bisa mengeluarkan air mata,
walaupun secara medis sudah dinyatakan mati.
B.
49 Hari perjalanan Badan medio (ALAJNAVIJNANA)
Setelah seluruh 4
element besar terurai maka indra ke 8 pun (alajnavijnana) mulai meninggalkan
badan jasmani, masa ini disebut masa medio (pralihan). Alajnavijnana yang
sudah telepas dari badan jasmani disebut juga dengan istilah ‘badan medio’.
Jangka waktu sebulum
badan medio tumimbal-lahir kea lam yang lain adalah selama 49 hari (7 X 7 hari
). Menurut aliran Sukhavati dihitung sejak saat dia meninggal hingga hari ke
49. Sedangkan menurut aliran Tantrayana, setelah terlepas dari badan jasmani,
badan medio akan pingsan dan baru sadar 3,5 – 4 hari sesudah hari kematiannya.
Kondisi umun badan
Mediao :
Pada mulanya badan
medio belum menyadari bahwa dirinya telah meninggal dunia, seandainya kita
dapat melihat keberadaannya, akan tetlihat terang dan lincah. Dia merasa semua
indranya lengkap : mata, telinga; hidung; lidah, badan dan pikirannya bekerja
sangat baik. Orang yang semasa hidupnya buta dapat melihat kembali, yang bisu
dapat bicara, yang tuli dapat mendengar, badannyapun dapat melang-lang buana,
bebas tiada yang merintangi.
Jika pada waktu itu ada
sanak kaluarganya yang mangadakan upacara kematian dan memanggil namanya, maka
dia akan mendekati jenazah dan menjadi sadar bahwa dia telah tiada.
Jika pada saat kematian keluarrga almarhum mengadakan upacara kematian dengan
menyajikan sajian hasil pembunuhan hewan,misalnya : babi, ayam, ikan dan
sebagainya, hal itu bukannya menolong, justru semakin menambah penderitaan
badan medio, bagaikan mendorong badan medio masuk ke 3 alam sengsara (binatang,
preta, dan neraka),sebab hawa amarah dari binatang yang matipenasaran trsebut
akan dapat menggangu perjalannan badan medio, sehingga badan medio merasa
jengkel, kesal dan marah. Kondisi yang buruk ini tidak menunjang
badan medio agar tumimbal lahir dialam yang lebih baik, tetapi justru
menjerumuskannya kea lam yang rendah.
Kontak rasa badan medio
pada 14 hari pertama:
Apabila semasa hidupnya badan medio tidak pernah berjumpa/berjodoh dan tidak
mengerti budha darma, pertolongan dari pihak keluarga tidak ada, maka bbadan medio
hanya mengandalkan karmanya sendiri dalam perjalannan kematiannya.
Mula-mula badan medio akan berkontak rasa dengan 6 cahaya yng muncul
sebagai akibat dari karmannya sendiri. Jika karmanya berkontrakk rasa dengan
alam:
Dewa, akkan tampak sinar putih redup
Manusia, akan tampak
sinar kuning redup
Asura, akan tampak
sinar hijau redup
Binatang, akan tampak
sinar biru redup
Preta,(setan
gentayangan), tampak sinar merah redup
Neraka, akan tampak
asap berkabut hitam.
Pada umumnya, tanda
berkontak rasa dengan dunia baik, sesaat setelah meninggal dunia, satengah
badan kebawah akan dingin lebih dahulu, sedangkan jika berkontak rasa
dengan dunia buruk, setengah badan ke atas yang akan menjadi dingin terlebih
dahulu . acarnya parampara (sesepuh) mengatakan : jika bagian wajah yang
terakhir menjadidingin akan tumimbal lahir di alam dewa, jika bagian
tenggorokan yang terakhir dingin akan tumimbal lahir di alam asura, jika hati
yang terakhir dingin akan kembali lahir sebagai manusia, jika yang terakhir
dingin adalah bagian bawah perut akan menjadi setan gentayanan, jika
dengkul yang terakhir dingin akan menjadi binatang dan jika yang terakhir
dingin telapak kaki maka akan masuk kea lam neraka. Bagi mereka yang tidak
tumimbal lahir dari 6 alam kehidupan,pada saat seluruh badan telah menjadi
dingin, bagian kepala tetap hangat.
Hari ke 1 :
Badan medio akan
melihat warna biru cerah seperti biru langit, di tengahnya bertahta Buddha
Vairocana (pilucena-Fo) diatas singga sana singa.
Hari ke 2 :
Terdapat sinar putih
suci yang menyinari badan medio, sinar ini adalah sinar dari budha Aksobhya
(Buddha Vajrasattva/cing kang-Fo) yang bertahta diatas singgasana gajah,
disampingnya terdapat Bodhisattva Ksitigarbha dan Bodhisattva Maitreya.
Hari ke 3 :
Terdapat sinar kuning
indah yang merupakan sinar dari budha Ratnasambhava (pao sen-Fo) yang bertahta
diatas kuda sakti, disampingnya terdapat Bodhisattva Akasagarbha (si Kung Cang
Posat) dan Bodhisattva Samantabhadra (Phu Sien Po-Sat).
Hari ke 4 :
Terdapat sinar merah
yang bagaikan api unggun suci. Inilah sinar dari Amitabha Buddha dari surge
Sukhavati di sebelah barat yang bertahan di singgasana burung merak, langsung
menyinari badan medio, disampingnya terdapat Bodhisattva Avalokitesvara (Kuan
Se Im Po-Sat) dan Budhisattva Mahasthamaprata (Ta Se Ce Po-Sat) yang
berdiri dengan penuh welas asih.
Hari ke 5 :
Terdapat sinar hijau
terang bagaikan pelangi suuci, ini adalah sinar dari Budha Amoghasiddhi (Pu
Kung Cen-Fo) yang bertahta pada singgasana mahluk yang berbadan manusia dan
berkepala burung.
Hari ke 6 :
Jika pada hari ke 6
badan medio blom dapat menemukan penjemputan, tentulah karna akusala
karma yang telah di perbuatnya, atau selama hidupnya tidak mengenal
Buddha darma, sehingga tidak yakin atas pertolongan gaib Buddha dan
Bodhisattva.
Hari ke 7 :
Jika badan medio
melewatkan 6 harip pertama, maka hari ke 7 akan muncul 5 penjemput yang
menduduki posisi timur,selatan, barat, utara, dan tengah.masing-masing
mengangkat taangn kanan nya membentuk mudra penaklukan dan mengeluarkan sinar
yang menyoroti badan medio. Pada saat yang sama,dari alam binatang memancarkan
sinar biru redup, jangan terpikat pada sinar ini, karna munculnya sinar ini
sebenarnya akibat kebodohan diri sandiri.
Hari ke 8 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4, dan bermata
9. Bagiab kanannya berwarna putih, sedangkan kirinya berwarna merah,dan
bagian tengahnya berwarna coklat merah tua. Gigi taringnya menonjol dan alisnya
bersinar nagaikan listrik. Seluruh badannya bercahaya dan berteriak keras
menggelegar. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Vairocana
(Pilucena-Fo) yang datang menjemput, jangan takut dan kaget, bersujudlah
kepadanya dan masuklah kedalam sinar bijak Hyang Buddha, jika saat itu sepenuh
hati menyebut Nama Amitabha Buddha, masih dapat terlahir di surge Sukhavati
bagian barat.
Hari ke 9 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya
berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya
berwarna biru tua. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Aksobhya
(Vajrasattva/Cing Kang-Fo), yang muncul akibat kontak rasa indra sendiri, jika
disaat itu menyebut Namao amithaba Budha,dengan sepenuh hati, badan medio dapat
tiba juga di surga Sukhavati bagian barat.
Hari ke 10 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya
berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya berwarna
kuning tua. Malaikat ini sebenarmya penjelmaan dari Buddha Ratnasambhava (Pao
Sen-fo) dari selatan.
Hari ke 11:
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6,berkaki 4. Bbagian kananya
berwarna putih, sedangkirinya berwarna biru dan tengahnya berwarna
merah.malaikat ini adalah penjelmaan dari Buddha Amithaba (Omito- F0).
Hari ke 12 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6 dan berkaki 4.kanannya
berwarna putih, kirinya berwarna merah dan bagian tengahnnya berwarna hijau
tua. Malaikat ini adalah penjelmaan dari Buddha Amoghasiddhi (Pu Kung Cen-Fo).
Hari ke 13 :
Pada hari ini akan
muncul 8 malaikat berwajah merah disertai dengan 8 wanita berkepala aneka macam
yang amat menakutkan masing-masing mengambil posisi mengurung dalam 2 lapisan,
jangan takut karna semua ini muncul dari bayangan khayal indra badan medio.
Hari ke 14 :
Pada hari ke 14 badan
medio akan mlihat berbagai bayangan malaikat wanita dengan bentuk rupa yang
marah dan menyeramkan.semua penampakan ini timbul karna kontak rasa dari indra
sendiri. Ke 28 malaikat wanita ini akan mengalilingi badan medio dalam 2
lapisan (luar dan dalam), yang berkedudukan sebagai penjaga pintu 4 penjuru.
Lapisan sebelah dalam
Timur :
1)
Berkepala kerbau dengan warna coklat merah tua,memegang tongkat dan mangkok
dari tengkorak manusia.
2)
Berkepala ular warna merah kuning memegang bunga teratai.
3)
Berkepala macam tutut warna biru hitam memegang tombak bercula tiga.
4)
Berkepala monyet warna hitam memegang roda.
5)
Berkepala beruang es warna merah memegang tombak pendek.
6)
Berkepala beruang putih warna merah memegang tali yang terbuat dari usus
manusia.
Barat :
1)
Berkepala elang warna hijau kehitaman memegang tongkat kecil
2)
Berkepala kuda warna merah memegang kaki tangan mayat.
3)
Berkepala elang warna putih memegang tongkat kayu.
4)
Berkepala anjing warna kuning memegang tongkat dan belati.
5)
Berkepala burung platuk warna merah memegang busur panah.
6)
Berkepala rusa warna hijau memegang hiolo.
Utara :
1)
Berkepala serigala warna biru memegang bendera kecil.
2)
Berkepala kambing hitam warna merah memegang tongkat kayu runcing.
3)
Berkepala babi hutan warna hitammemegang tali urat gigi.
4)
Berkepala burung gagak warna merah memegang jenajah anak kecil.
5)
Berkepala gajah warna hijau hitam memegang jenazah dan mangkok tulang manusia.
6)
Berkepala ular warna biru memegang tali ular.
Selatan :
1)
Berkepala kelelawar warna kuning memegang pisau belati.
2)
Berkepala singa warna merah memegang hiolo.
3)
Berkepala kalajengking warna merah memegang bunga teratai.
4)
Berkepala burung warna putih memegang tongkat.
5)
Berkepala musang berwarna hitam kehijaun memegang tongkat kayu.
6)
Berkepala macan warna kuning kehitaman memegang cawan babi berkepala manusia.
Lapisan sebelah luar
Timur : Berkepala burung berwarna hitam memegang kail bedsi.
Barat : Berkepala singa warna merah memegang rantai besi.
Utara : Berkepala ular warna hijau memegang klenengan/bel.
Selatan : Berkepala kambing hutan warna kuning memegang tali.
Hari ke 15 – 49.
Jika sampai hari ke 14
badan medio belum dapat menggunakan kesempatan yang ada untuk masuk kedalam
alam Buddha, badan medio akan mendengar teriakan-teriakan yang memilukan dan
menyeramkan, terasa angin yang besar dan kencag meniup dari arah belakang dan
sekelilingnya menjadi gelap gulita.disaat itu munculah raja setan dan seluruh
perajuritnya, bentuk badannya besar dan berwajah menakutkan, siap ,meminum
darah manusia. Jika badan medio melihat keadaan ini janganlah takut , sadarlah
bahwa segala wujud atau rupa itu pada hskekatnya adalah kosong. Sebutlah Namo
Amitabha Buddha, maka semua gambaran akan lenyap dan badan medio segera
tumimbal lahir di Surga Sukhavati.
3.
Tumimbal Lahir
Proses tumimba lahir
Budha menjelaskan
peruses tumimbal-lahir sebagai sebab musabab yang saling bergantungan.
Proses ini terutama berhubungan dengan bagai mana mengatasi penderitaan hidup
yang berulang-ulang tanpa mempedulikan teka-teki asa mula kehidupan yang
pertama.tiada sesuatu yang muncul dari ketidak adaan. Tiada sesuatu atau
makhluk yang mncul tanpa ada sebab terlebih dahulu. Segala sesuatu tergantung
pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, yang disebut sebab.
Menurut Gunaratna,
terdapat sejumlah hukum yang secara fundamental bekerja dalam proses
tmimba-lahir, yaitu :
1)
Hukum ketidak kekalan atau perubahan;
2)
Hukum penjadian atau dumadi ( law of becoming );
3)
Hukum kesinambungan atau kontinuita;
4)
Hukum karma atau aksi dan reaksi;
5)
Hukum daya tarik dan pertalian (low of attraction & affinity)
Berdasarkan abhidhamma
ia menjelaskan momen-momen pikiran dan bekerjanya pikiran, sadar dan bawah
sadar sehingga hingga kematian berlanjut dengan kelahiran kembali.
Kita tidak tau pasti
dari mana seseorang berasal sebelum terlahir didunia . tetapi dengan melihat
keadaan dan nasib seseorang, kita bisa memperkirakan bagai mana hidupnya
terdahulu.[5]
a)
Dasa dharma dhatu
Didalam agama budha
dikenal adanya 10 alam besar (Dasa Darma Dhatu) yang dapat di kelompokan
menjadi 2 bagian, yaitu :
Kelompok yang tidak
tumiba lahir lagi :
1)
Alam Buddha
Alam Buddha adalah alam
yang maha sempurna, mahluk yang terlahir di ala mini telah melaksanakan Sad
Pramita dengan sempurna hingga memperoleh tingkat pencerahan Bodhi yang tiada
taranya (Anuttara Samyaksambodhi), jasa dan pahalanya telah
brlimpah-limpah serta mempunyai kemampuan membimbing semua mahluk agar
memperoleh kesadaran bodhi.
2)
Alam Bodhisattva
Alam ini dihuni oleh
mahluk yang telah melaksanakan sad Pramita dengan baik, tetapi pahalanya belum,
berlimpah –limpah dan mempunyai kemampuan untuk menolong dirinya sendiri serta
semua makhluk yang lain agar bebas dari alam sangsara.
3)
Alam Pratyeka Buddha
Makhluk yang dengan
usaha dan pengetahuan sendiri telah melatih dan berhasil memutuskan dengan
sempurna 12 rantai sebab musabab yang saling bergantungan
(Devadasang Pratityasamutpada) akan memperoleh pencerahan Pratyeka Bodhi dan
berdiam di alam Pratyeka Buddha.
4)
Alam Arhat
Alam arhat dihuni oleh
mahluk yang telah sempurna melaksanakan 4 kesunyataan mulia (Catur aryasatyani)
dan sempurna pula di dalam melaksanakan Sila, Samadhi, Prajna dengasn mengikuti
ajarn Syamyaksambuddha sehingga mencapai pencerahan sravaka Bodhi untuk
dirinya sendiri.
Kelompok yang masih tumimba lahir :
5)
Alam Dewa
Alam dewa diikuti oleh
kegembiraan, usia panjang dan kemakmuran yang berlimpah-limpah. Makhluk yang
dapat dilahirkan di alam ini, telah sempuna menjalankan 10 perbuatan bajik
(Dasa Kusala Karma) dan melakukan dana demi kepentinga orang banyak.
6)
Alam Manusia
Alam Manusia bersifat
derita, tidak kekal dan tanpa inti (Dukha, Anitthya, An-atman), dan setelah
mati dapat di peruses tumimbal lahir di salah satu dari 10 alam besar sesuai
karmanya. Untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, makhluk tersebut harus
menjalankan Pancasila dan Dasa Kusala Karma.
7)
Alam Asura
Mahlukl yang dilahirkan
di Alam Asura ini, tidak menjalankan panca Sila dan Dasa Kusala Karma. Akan
tetapi melatih diri dengan Samadhi, sehingga memperoleh kekuatan gaib serta
penuh dengan angkara murka. Alam Asura mempunyai nafsu keinginan dan emosi yang
luar biasa, serta mempunyai kesaktian seperti dewa, tetapi ala mini diliputi
dengan kegelisahan, ketidak tentraman, kemarahan dan jangka waktu hidupnya
lebih panjang dari pada alam manusia.
8)
Alam Binatang
Alam ini diliputi
dengan ketidakkekalan,kegelisahan,kebodohan serta tidak mempunyai kesempatan
untuk memperbaikinya.
9)
Alam Setan Gentayangan
Makhluk yang dilahirkan
dialam preta karna dia telah melanggar Panca Sila dan Dasa Kusala Karma serta
pikirannya selalu diliputi dengan dosa, moha dan lobha (kebencian, kebodohan
dan keserakahan ).
10) Alam Neraka
Makhluk yang dilahirkan
di alam neraka ini karena dia telah melanggar Panca Sila dan Dasar Kusala
Karma, serta pikirannya selalu diliputi dengan kebencian,kebodohan dan
keserakahan yang tiada taranya, semasa hidupnya tidak berbakti dan
menyusahkan orang tua.
b)
Tanda-tanda berkontak rasa dengan berbagai alam
1)
Alam Surga Sukhayati
Mereka yang semasa
hidupnya belajar dan membinadiri dengan metode memasuki lautan Samadhi Surga
Sukhavati dan semua upacara,pikiran: perbuatannya selaras dengan Buddhi Darma.
2)
Alam Neraka
Saat akan tumimbal
lahir didalam neraka, badan medio mendengar suara-suara yang sedih, menjadi
tertarik dan mengikutinya, badan medio akan masuk kerumah batu dan goa
berwarna hitam dan putih, selanjutnya melewati dengan terowongan yang gelap.
3)
Alam Setan Gentayangan (Preta)
Alam ini disebut juga
alam setan kelaparan, karna selalu merasa kelaparan, tak pernah puas, keinginan
tak bisa tercapai, dia hanya menunggu adanya upacara Ullambana atau
upacara persembahan puja makanan yang dilakukan oleh orang sucobarul;ah ia
dapat makan dan tertolong.
4)
Alam binatang beberapa goa dan gunung jika badan medio tertarik dan masuk
kedalamnya , maka akan tumimba lahir menjadi bintang.
Dalam alam in, badan
medio akan melihat suatu padang rumput yang luas, beberapa goa dan gunung jika
badan medio tertarik dan masuk kedalamnya, maka akan tumimbal lahir seperti
binatang.
5)
Alam Asura
Badan medio akan
melihat hutan kayu yang indah dan 2 roda api berputar mengagumkan, bila
tertarik dan mendekatnya maka akan segera tumimmbal lahir di alam asura.
6)
Alam Manusia
Muls-mula badan medio
akan melihat ayah dan ibunya bermesraan dan bersenggama , bila tertarik dan
jodoh nya berat ke pihak ibu maka akan terlahir sebagai laki-laki, sedangkan
apabila lebih berat ke ayah akan terlahir sebagai wanita.
7)
Alam Dewa
Badan medio akan
mendengar music kayangan yang merdu, tampak istana yang indah dan megah,
kemudian akan dijemput oleh bidadari kayangan yang cantik dan dewa petugas yang
tampan.
[10]
http://bhuanapuja.blogspot.com/2014/01/panca-yadnya.html Diakses pada
22 April 2015 pukul 12:00
[11]http://click-gen.blogspot.com/2011/12/pengertian-tujuan-serta-fungsi-dan.html Diakses pada
22 April 2015 pukul 12:23
[12]Mukti Ali,
Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga PRESS, 1988), hlm. 543
[13]http://dharmajayantipande.blogspot.com/2011/10/rsi-yadnya.html
Diakses pada 23
April 2015 pukul 20:55
[17]
Krishnanda
Wijaya-Mukti. Wacana Buddha-Dharma.(Jakarta:
Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), hlm. 213
[18]
http://buddhaschool.blogspot.com/2011/04/pembagian-bhavanameditasi-meditasi.html
Diakses pada 22 April 2015 pukul 21:12
[19]
http://andisetiyono.blogspot.com/2013/02/metta-bhavana-sebagai-pembentuk-watak.html
Diakses pada 23 April 2015 pukul 21:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar