RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh :
1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad :
1113032100068
Ucup manrdani: 11130321000-
Hari-hari suci Agama Hindu di Indonesia
A. Pendahuluan
Tiap–tiap
golongan manusia yang ada di dunia ini, baik sebagai warga dari suatu negara
atau bangsa, maupun sebagai penganut dari suatu agama. Masing-masing mempunyai
hari raya tertentu yang dianggap suci (kramat) dan mulia, yang tidak dilewatkan
begitu saja tanpa disertai dengan suatu upacara perayaan (peringatan), meskipun
hanya secara sederhana saja.
Hari-hari
suci bagi umat Hindu, ialah suatu hari yang dipandang suci, karena pada
hari-hari itu umat hindu wajib melakukan pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa
(Tuhan yang Maha kuasa) beserta segala manifestasi Nya. Hari- hari suci pada
hakekatnya merupakan hari-hari peyogaan Hyang Widhi dengan segala
manifestasi-Nya. Oleh karena itu pada hari-hari tersebut merupakan hari-hari
yang baik untuk melakukan Yadnya.
Yadnya ini
dilakukan oleh umat manusia. Sebagai penghormatan dan pemujaan terhadap hyang
Widhi (Tuhan Maha Pecipta), atas segala cinta kasih-Nya yang tidak terbatas
yang telah dilimpahkan-Nya dan atas sinar suci atau rahmat-Nya kepada semua
kehidupan di dunia ini.
B.
Hari Nyepi
(Tahun baru)
Hari Nyepi[1][1] diperingati
sebagai tahun baru Caka, yang jatuh sehari sesudah X (Kesada). Adapun Rangkaian
Hari Nyepi (Tahun Baru Caka) ini, adalah sebagai berikut:
1.
Melis/Mekiis/Melasti, yang jatuh pada trayodasa krenapaksa sasih IX (Kesanga)
atau pada pengelong 13 sasih Kesanga adalah Hari yang baik untuk mengkiyis atau
melis ini, juga dimaksudkan untuk mengadakan pembersihan atau penyucian segala
sarana dan prasarana perangkat alat-alat yang dipergunakan untuk
persembahyangan. Melis ini biasa dilakukan dilaut atau pada sumber air yang
lain sesuai dengan desa, kala dan patra umat masing-masing dengan tujuan
memohon tirtha amertha (air kehidupan) dan tirtha pembersihan kehadapan Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Maha Kuasa).
2.
Upacara Bhuta Yadnya (Tawur atau meracu), jatuhnya pada Tilem sasih kesanga.
Hari ini disebut juga pengerupukan yang bertujuan untuk menghilangkan
unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Di saat umat
hindu bersiap untuk melepaskan tahun lama dengan mengadakan pecaruan agar
segera kekuatan yang negatif tidak mengikuti manusia melangkah ketahun yang
baru. Di samping itu adalah untuk menormalisir unsur-unsur panca Mahabhuta,
yaitu lima unsur yang menjadi alam semesta (makrokosmos) dan badan makhluk
hidup (mikrokosmos).
3.
Sipeng (Hari Nyepi), yang disebut juga sebagai tahun Baru Caka pada hari ini
umat melakukan tapa, bratha, yoga, samadhi, satu hari penuh (24 jam), untuk
mengekang hawa nafsu, tidak makan dan tidak minum. Pemadaman nafsu-nafsu ini
diperagakann dengan tidak menyalakan apai (amati geni) tidak bekerja (amati
karya), tidak berpergian (amati lelangun). Jelasnya pada sipeng ini kita
menyucikan diri dan memusatkan pikiran dengan mengendalikan segala nafsu,
berpuasa, bertapa samadhi menciptakan ketenangan dan kedamaian sehingga pikiran
bisa bergerak menjelajahi atau meneliti kembali segala perbuatan yang telah
diperbuat di masa lalu dan memupuk perbuatan yang baik serta melebur yang tidak
baik. dengan hikmah Nyepi (Tahun Baru Caka) kita peringatkan agar berbuat
dengan “ Sepi Ing Pamrih”.
4.
Ngembak Api (Gni), yang jatuh sehari setelah Nyepi. Hari ini memulainya
aktivitas kita dengan panjatan doa, mohon semoga Hyang Widhi menganugrahi kita
jalan yang terang, terlepas dari mkegelapan masa silam dan dengan jiwa terang
memasuki Tahun Baru. Saat ini pulalah kita hendaknya salaing maaf memaafkan
antara sesama manusia sebagi makhluk Tuhan.
C.
Hari
Ciwaratri
Ciwaratri
berarti malam renungan suci atau malam pelaburan dosa. Hari Ciwaratri jatuh
pada Purwanining Tilem Ke VII (kepitu), yaitu sehari sebelum bulan mati sekitar
bulan januari.[2][2] Pada hari ini
kia melakukan Puasa dan Yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan
hari Hyang widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidnya (kegelapan).
Hari
ciwaratri kadang kala disebut juga hari pejagaran. Karena pada hari ini Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Yang bermanifestasikan sebagai Ciwa dalam
fungsinya sebagai pelebur, melakukan Yoga Yoga semalam suntuk, karena Itu pada
hari Ini kita memohon kehadapan- Nya agar segala dosa –dosa kita dapat dilebur.
Pada malam
Ciwaratri ini. Setiap orang mendapat kesempatan untuk melebur perbuatan
buruknya (dosanya) dengan jalan melaksanakan brata Ciwaratri. Hal ini
disebutkan dalam kitab Padma Purama. Bahwa sesungguhnya malam Ciwaratri itu
adalah malam peleburan dosa, yaitu peleburan atas dosa-dosa yang dilakukan oleh
seseorang didalam hidupnya.
D.
Hari
Galungan
Galunagan
adalah pemujaan kepada Hyanng Widhi yang dilakukan dengan penuh kesucian dan
ketulusan hati. Memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup serta agara
dijauhkan dari awidya. Hari raya galungan adalah hari pawedalam jagat.[3][3] Yaitu pemujaan
bahwa telah terciptnya jagat dengan segala isinya oleh Hyang Widhi. Hari ini
muncul setiap 210 hari sekali. Yaitu pada hari rabu kliwon Wuku Dungulan.[4][4]
Galungan
merupakan perlambang perjuangan antara yang benar (dharma) nmelawan tidak benar
(adharma) dan juga sebagi pernyataan rasa terimakasih atas kemakmuran dalam
alam yang diciptkan Hyang Widhi ini.
Disamping
itu pula, perayaan galungan adalah untuk menyatakan terima kasih dan rasa
bahagia atas kemurahan Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun dengan
diiringi oleh para dewa dan para Pitara ke dunia.
Sehari
sebelum galungan, yaitu pada hari selasa Wage wuku Dungulan. Disebut hari Hari
Penampahan. Mulai saat penampahan ini segala bentuk nafsu hendaknya
dikendalikan dalam rangka menyambut hari raya Galungan (Besoknya), karena pada
hari Penampahan iini manusia berusaha digoda oleh nafsu-nafsunya yang bersifat
negatif, misalnya nafsu murka, iri hati, sombong, congkak dan lain-lainnya,
yang dilambangkan dengan Sang kala Tiga. Apabila manusia pada saat itu kurang
waspada dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, maka ia akan dikuasai
adanya dorongan nafsu marah, sering terjadi pertengkaran-pertengkaran
.perselisihan dan lain sebagainya.
E.
Hari
kuningan
Kuningan
jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan 210 hari sekali yakni sepuluh hari
setelah Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogaan Hyang Widhi yang turun
kedunia dengan diiringi oleh para Dewa dan Pitara pitari melimpahkan
Karunia-Nya kepada umat manusia. Karena itu pada hari Kuningan kita hendaknya
mengahturkan bakti memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan tuntunan
lahir bathin.
Pada hari
kuningan ini, sajen (banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yanng
berwarna kuning. Tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan
dan kemakmuran yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi Wasa. Pada hari ini kita
membuat tamiang, endongan dan kolem yang dipasang pada Padmasana. Sanggah
(Merajan) dan Penjor. Tamiang ini adalah simbol alat penangkis dari serangan,
endongan adalah simbul tempat makanan karena itu endongan berisi buah-buahan, tebu,
tumpeng serta lauk pauknya, dan kolem merupakan simbul tempat istirahat atau
tidur. Upacara persembanhyangan hari kuningan harus sudah selesai sebelum
tengah hari.
F.
Hari Purnama
dan Tilem
Purnama dan
Tilem, Juga merupakan hari suci bagi umat Hindu, yang harus disucikan dan
dirayakan untuk memohon berkah, rahkmat dan Karunia dari Hyang Widhi.
Pada hari
Purnama adalah payogaan Sanghyang Candra dan pada hari raya Tilem adalah
Payogaan Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) dalam manifestasinya berfungsi sebagai pelebur
segala mala (kekotoran) yang ada di dunia.
Bila pada
hari Purnama atau Tilem umat manusia menghaturkan upakara yadnya dan
persembahyangan kehadapan hyang Widhi, dari nilai satu aturan (bhakti) yang
dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah bernilai sepuluh dari hyang
Widhi.
Demikianlah
hari Purnama dan Tilem itu yang merupakan hari Suci yang harus dirayakan oleh
umat Hindu untuk memohon anugrah dan rakhmat serta keselamatan dan kesucian
lahir bathin. Pada hari Purnama dan Tilem hendaknya mengadakan upacara-upacara
persembahyanngan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah satu
aspek dari pada pengalaman ajaran agama.
Hari Purnama
jatuh setiap bulan penuh (sukla paksa), sedangkan Tilem jatuh setiap bulan mati
(krsna paksa). Baik purnama maupun Tilem datengnya setiap 30 atau 29 hari
sekali.
Pada hari
Purnama dan Tilem ini kitahendaknya mengadakan pembersihan secara lahir batin,
karena itu, disampping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang
Widhi untuk memohon anugrah-Nya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan
dengan air (mandi yang bersih). Menurut pandangan Hindu bahwa air merupakan
sarana pembersihan yang amat penting didalam kehidupan manusia. Disamping itu
pula air merupakan sarana pembersih, juga sebagai pelebur kotoran.
G.
Hari
Saraswati
Hari
Saraswati, adalah hari raya untuk memuja hyang Widhi dalam menifestasinya dan
kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Hari Raya Saraswati
merupakan piodalan Sang hyang Aji Saraswati atau turunya Weda yang dirayakan
setiap hari sabtu Umanis Wuku Watugunung, yang jatuhnya setiap 210 hari sekali.
Kekuatan Hyang Widhi dalam Manifestasin-Nya menurunkan Ilmu pengetahuan
dilambangkan dengan seorang “Dewi”. Dewi Saraswati merupakan Dewi ilmu
pengetahuan Suci, karena itu bagi para arif bijaksana, pelajar dan kaum
cendikiawan, saraswati ini merupakan hari penting untuk memuja kebesaran hyang
Widhi atas segala Ilmu pengetahuan suci yang telah dianugrahkan itu.
Dewi
Saraswati merupakan sakti Brahma (manifestasi Hyang Widhi dalam hal mencipta),
yang mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari
ilmu pengetahuan inilah timbul ciptaan-ciptaan baru yang ada didunia, tanpa
ilmu pengetahuan manusia tidak mungkin dapat menciptkan yang baru.
Bab II
Hari-hari suci Agama Hindu di India
A.
Chaitra
Purnima
Hari suci
ini jatuh pada purnama Bulan Chaitra (ke 9) di bali bersamaan
dengan Purnama kadasa (WAISAKA ), sekitar Maret-April. Pada hari
ini umat melakukan pemujaan terhadap Dewa Yama. Umat biasanya mengaturkan
sesaji berupa nasi lengkap dengan bumbunya. Setelah persembahan. Umat biasanya
makan bersama (prasadam). Hari raya ini sebenarnya jatuh pada purnama dibulan
pertama, menurut kalender Hindu.[5][5] Sebab Umat Hindu
memandang Bulan Chaitra sebagai awal tahun baru sehingga perayaan ini bisa jadi
sekaligus merupakan perayaan tahun baru Saka.
B.
Durgapuja
Hari suci
ini di rayakan pada suklapaksa (penanggal) sampai 10 pada
bulan Asuji, sekitar September- oktober. Pada sistem kalender
bali, ini bertepatan dengan bulan kartika (sasih kapat). Hari
durgapuji ini juga diperingati setelah Rahmawavani yang jatuh
pada suklapaksa kesembilan.
Pada hari
ini, umat pertama-tama melakukan pemujaan di rumahan masing-masing. Pada hari
ini, umat juga memuja Siva Ganesha dan dewa-dewa lainya. Pada perayaan ini,
umat biasanya menggarak patung dewi Durga berlengan delapan lengkap dengan
senjatanya. Umat biasanya melakukan bhajan.[6][6] Semalam suntuk
untuk memuja durga. Mereka biasanya menggunakan tempat-tempat umum, seperti di
dekat pasar dan sejenisnya. Pada puncak acara, umat biasanya juga melakukan
mandi suci ke sungai-sungai suci.
C.
Dipavali
Hari suci
ini biasanya di peringati pada Krsnapaksa ke 14 (pangelong ping 14)
bulan kartika. Pada sistem kalender di Bali bertepatan dengan sasih
kalima. Hari suci ini dilaksanakan untuk memperingati kembalinya Sri Rama ke
Ayodhya.[7][7] Sehingga umat
menyambut beliau dengan menyalahkan Dipa, sejenis lilin-lilin
kecil.
D.
Gayatri Japa
Hari suci
ini untuk memperingati turunya Mantram Gayatri.[8][8] Mantram ini
adalah ibu daripada semua Mantram dalam Weda. Hari suci ini sangat dikramatkan
umat Hindu. Hari suci ini jatuh pada Purnama Srawana, sekitar Juli-Agustus.
Hari suci Ini bertepatan dengan purnama Karo (Bhadrapada) menurut sistem
kelender umat Hindu di Bali.
E.
Guru Purnima
Hari suci
ini juga disebut Vyasa Jayanti, atau hari kelahiran Maharsi
Vyasa. Hari suci ini jatuh padaPurnama Asadha, sekitar Juni-Juli.
Menurut perhitungan kalender hindu dibali, ini bertepatan dengan purnama kasa
(Srawana). Hari ini sangat penting bagi para Sannyasin. Pada
hari ini, mereka akan berhenti mengembara. Mereka akan tinggal diasram-asram
untuk mendiskusikan Brahmasutra dan bermeditasi.
Bab III
Tempat tempat Suci Agama Hindu
A.
Istilah-istilah
Tempat Suci
Tempat suci
bagi umat Hindu, dapat disebut dengan bermacam-macam istilah, seperti:
1.
Pura
Istilah pura
berasal dan kata “pur”. Yang artinya kota, benteng atau kota yang berbenteng.
Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan
dikelilingi oleh tembok. Hampir semua pura (tempat Suci) dikelilingi atau
dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitarnya
yang dianggap tidak suci.
2.
Candi
Candi
artinya Ciwa.[9][9] Bentuk pokoknya
adalah segi tiga yaitu lambang purusa, sebagai wisesanya Hyang Widhi untuk
mencipta atau mengadakan. Lambang ini adalah lamabang Ciwa sebagai paksa agama
Hindu. Jadi bukan bagian dari Tri Murti atau Tri Sakti. Candicandi ini banyak
terdapat di India dan di Jawa, sedangkan Candi yang terdapat di gunung Kawi
(Tampak Siring Bali) bukanlah lambang Ciwa, melainkan adalah terdapat
penyungsungan seorang Raja yang di makamkan disana dengan permaisurinya.
3.
Kahyangan atau Parhyangan
Kahyangan
atau Parhyangan. Berasal dari kata “Hyang”. Biasanya dihubungkan dengan sang dang, merupakan
kata sandang yang di tempatkan didepan sesuatu yang dimuliakan, dihormati,
misalnya sang Hyang Widhi, Sang Hyang Dharma, Dang Hyang Drona, hyang Guru,
dang Hyang Niratha dan lain sebagainya. Jadi “Hyang”. Yang berarti sesuatu yang
muliakan, disucikan, dijunjung, di hormati. Kata Hyang ini kemudian mendapat
awalan “Ka” dan akhiran “An” (ka+hyang+an) sehingga menjadi kata Khyangan yang
berarti tempat, kedudukan linggih, sthana. Demikian pula kata parhyangan”. Yang
artinya tempat kedudukan suci yang di sucikan. Selanjutnya yang di maksud
dengan kahyangan atau parhayangan disini, bukan saja bangunan yang berfungsi
sebagai sthana, linngih atau temapt kesucian itu, tetapi juga seluruh komplek
dengan halaman dari tempat suci.
4.
Istilah istilah lainnya
Istilah
istilah lain adalah Pengayatan, Pengawangan, Pengubengan, Pengayengan,
Dewagrha-Mandira, Persimpangan dan lain-lainnya. Ditempat ini hyang Widhi
beserta manifestasinNya disthanakan dan di puja pada waktu tertentu apabila
diperlukan. Misalnya pada hari raya agama Hindu. Pengahayatan, Penyawangan,
pengubengan dan sejenisnya ini merupakan linggih atau sthana Hyang Widhi yang
bersifat sementara, yakni sebagai persimpanagan saja. Melalui tempat-tempat
suci ini kita memusatkan pikiran dan memohon kehadapan Hyang Widhi beserta
manifestasiNya agar berkenan bersthana pada tempat yang telah tersedia, serta
mengabulkan doa yang kita panjatkan kehadapan- Nya.
B.
Fungsi
tempat Suci
Tempat suci
mempunyai funsi yang amat penting bagi Umat Hindu funsi yang hampir meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat Hindu.[10][10]
Sebagaimana
disebutkan dalam sastra agama, maka fungsi tempat (Pura) itu adalah sebagai
berikut:
1.
Pura adalah temapt beribadat, tempat manusia mendekatkan dirinya kepada Hyang
Widhi, tempat memohon dan bersujud kehadapan Tuhan yang Maha Pecipta. DiPuralah
tempat manusia mempersatukan dirinya kepada Tuhannya.
2.
Pura juga merupakan tempat memperlai mengikrarkan sumpahnya atas pesaksian Sang
Hyang Widhi untuk memasuki hidup baru, mereka berjanji tetap setia sehidup
semati bersama dalam suka maupun duka untuk membawa rumah tangga yang
berbahagia sesuia dengan tuntunan agama
3. Temapt untuk memuja roh-roh suci
yang dipandang suci baik roh suci leluhur, roh para Rsi maupun raja-raja yang
dianggap telah menjadi Dewa-dewi.
C.
Jenis-jenis
Tempat Suci
Jenis-jenis
tempat suci berdasarkan atas karakternya. Dapat dibagi menjadi 4 empat bagian
besar yaitu.
1.
Pura keluarga
Pura
keluarga ini juga disebut Sanggah, pura Dadya, Pura Kawitan Pura Pedharman,
Paibon, Panti dan lain sebagainya kelompok pura ini didukung oleh segolongan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah (genealogic). Oleh karena itu Pura
–Pura iini ada dilingkunagan rumah tangga. Jika pendukungnya ada didalam
lingkup yang lebih kecil disebut dengan Sanggah atau pamerajan, dan apabila
keluarga bersangkutan telah bertambah besar dan meluas, maka didirikanlah
pamerajan atau sejenisnya.
2.
Pura Desa
Pura Desa
ini disebut pula pura kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa, yaitu Pura temapt
memuja Hyang widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Wisesa dan Tri Murti. Pura
ini terdiri dari Pura Desa (Balai Agung) ialah tempat pemujaan Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa) dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma yaitu Pecipta, Pura
Puseh atau Pura segera ialah tempat pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya
sebagai Wisnu yaitu pemelihara.[11][11]
3.
Pura Kahyangan jagat ini juga disebut dengan pura umum, artinya adalah suatu
Pura yang didukung dan disungsung oleh Umat Hindu yang ada di seluruh Indonesia
pada Khususnya dan seluruh Umat Hindu umumnya. Di Indonnesia, Pura yang paling
besar yang tergolong Kahyangan jagat ini adalah Pura Besakih. Dalam
perkembangan selanjutnya banyak lagi pura atau Kahyangan yang dapat di
katagorikan sebagai Kahyangan Jagat, seperti misalnya Pura Mandara Giri Semeru
Agung Senduro Lumajang Jawa Timur dan lain-lainya.
4.
Pura yang besifat Fungsional
Yang
dimaksud dengan Pura Fungsional di sini adalah dimana pemuja, pendukung atau
penyungsung dari Pura atau tempat suci tersebut mempunyai suatu kepentingan
yang sama dalam hal-hal tertentu. Tempat suci yang termasuk golongan Fungsional
ini adalah Pura Subak (Ulun suwi/Ulun Carik) dan lain, sebagainya. Pura subak,
mereka mempunyai kepentingan yang sama terutama dalam mendapatkan air untuk
sawah-sawah mereka.maka bersama-sama lah mereka mendirikan Pura.
1. Candi Cetho
Candi Cetho merupakan sebuah candi
bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad
ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842.
A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi
(penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun
1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya
mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh.
Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Ciri-cirinya:
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
2.
Candi Asu
Candi Asu adalah nama sebuah candi
peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi,
kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di
sebelah timur laut dari candi Ngawen). Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi
Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung (Magelang). Nama candi
tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.
Ciri-cirinya :
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
3. Candi Gunung Wukir
Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal
adalah candi Hindu yang berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan
Salam, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung
Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun
pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu
pada tahun 732 M (654 tahun Saka).
Ciri-cirinya:
Kompleks dari reruntuhan candi ini
mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada
tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini.
Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung
lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.
4. Candi Prambanan
Berdiri di bawah Candi Hindu terbesar
di Asia Tenggara ini selarik puisi tiba-tiba terlintas di benak
Candi Prambanan yang dikenal juga
sebagai Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan
pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso
dari Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik bernama Roro
Jonggrang. Si putri menolak dengan halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang
dibuat hanya dalam waktu semalam. Bandung yang memiliki kesaktian serta merta
menyetujuinya. Seribu candi itu hampir berhasil dibangun bila akal licik sang
putri tidak ikut campur. Bandung yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang
menjadi arca, yang diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi.
5. Candi Gunung Sari
Candi Gunung Sari adalah salah satu
candi Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi ini berdekatan dengan Candi
Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal.
Ciri-cirinya:
Candi Gunung Sari dilihat dari
ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua daripada Candi Gunung
Wukir. Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan yang sangat
mempesona dan menakjubkan. Candi Gunung Sari terletak di Desa Gulon, Kecamatan
Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Semoga di masa depan Candi
Gunung Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat menemukan inspirasi
dan keindahanny.
6. Arca Gupolo
Arca Gupolo adalah kumpulan dari 7
buah arca berciri agama Hindu yang terletak di dekat candi Ijo dan candi
Barong, di wilayah kelurahan Sambirejo, kecamatan Prambanan, Yogyakarta. Gupolo
adalah nama panggilan dari penduduk setempat terhadap patung Agastya yang
ditemukan pada area situs. Walaupun bentuk arca Agastya setinggi 2 meter ini
sudah tidak begitu jelas, namun senjata Trisula sebagai lambang dari dewa Siwa
yang dipegangnya masih kelihatan jelas. Beberapa arca yang lain, kebanyakan
adalah arca dewa Hindu dengan posisi duduk.
Ciri-cirinya:
Di dekat arca Gupolo terdapat mata air jernih berupa sumur yang dipakai oleh penduduk setempat untuk mengambil air, dan meskipun di musim kemarau panjang sumur ini tidak pernah kering. Menurut legenda rakyat setempat, Gupolo adalah nama patih (perdana menteri) dari raja Ratu Boko yang diabadikan sebagai nama candi Ratu Boko (ayah dari dewi Loro Jonggrang dalam legenda candi Prambanan).
Di dekat arca Gupolo terdapat mata air jernih berupa sumur yang dipakai oleh penduduk setempat untuk mengambil air, dan meskipun di musim kemarau panjang sumur ini tidak pernah kering. Menurut legenda rakyat setempat, Gupolo adalah nama patih (perdana menteri) dari raja Ratu Boko yang diabadikan sebagai nama candi Ratu Boko (ayah dari dewi Loro Jonggrang dalam legenda candi Prambanan).
7. Candi Cangkuang
Candi Cangkuang adalah sebuah candi
Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut,
Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta
merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.
Cirri-ciri nya:
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.
8. Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah
komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi,
Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di
lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat lima buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles
pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa
Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Ciri-cirinya:
Candi ini memiliki persamaan dengan
kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar
1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin
(berkisar antara 19-27°C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di
lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar
lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang
mengandung belerang.
9. Candi Pringapus
Candi Pringapus adalah candi di desa
Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut ibu kota kabupaten
Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa
menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi tersebut
dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang ditemukan
di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932.
Ciri-cirinya:
Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis
Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis
10. Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks
candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan
Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena
ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial
karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan
yoni yang melambangkan seksualitas.
Cirri-cirinya:
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
DAFTAR
PUSTAKA
Warman I
Nyoman Singgin dan Sutara I Gede. Hari Raya Hindu Bali-India.
Surabaya: Paramita. 2003.
Oka Netra
Anak Agung Gde. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Denpasar: Widya Dharma.
2009.
Suarka I
Nyoman. Ketuhanan Bali; Kajian Analisis dan Era Baru Empu Kunturan.
Surabaya: Paramita. 2005.
[4][4] I Nyoman singgi Wikarman, hari raya Hindu bali-India suatu
perbandinga. (surabaya:
Paramita 2005). Hlm 29
[5][5] Sistem kalender umat hindu dibali lebih
awal satu bulan dengan sistem kalender di India. Sebab umat Hindu di bali lebih
dahulu melihat matahari berada diatas kepalanya pada pergerakan semu matahari
dari selatan ke utara .
[6][6] Bhajan adalah sebuah festival yang
mengindungkan nama-nama suci Tuhan pada hari suci ini, umat hindu di india
biasanya melakukan bhajan semalam suntuk. Mereka biasanya menari-nari dan
menyanyi bersama-sama.pada akhir pemujaan.
[7][7] Lihat kisah suci ramayana. Pada akhir
cerita shri Rama diceritakan kembali ke ayodhya. Hari ini merupakan hari yang
berbahagia. Penduduk menyalahkan lilin untuk menyambut kedatangan sang pahlawan
ini.
[8][8] Bagi yang membaca Adi Parwa, mahabrata
akan mengetahui kisah turunya Mantra gayatri ini. Pada kisah tesebut diceritkan
Maharsi Wismawitra menerima wahyu ini setelah beliau menghilangkan rasa egonya
yang tinggi dengan memohon persahabatan dari pesaingnya Maharsi Wasista.
[9][9] Drs. Anak agung Gde Oka netra. Tuntunan dasar Agama Hindu.(Denpasar:Widya
dharma: 2009) hlm,
83
[11][11] I Nyoman suarka, Ketuhanan Bali kajian analisis era baru
empu keturunan (surabaya:
Paramita 2005) , hlm 32-34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar